>> Part 5 (a)

180 34 56
                                    

Tidak ada yang berhak memutuskan takdir orang lain; tidak ada yang berhak untuk memaksakan kehendaknya pada yang lain.

Jika ada yang melakukannya, maka tunggulah. Orang tersebut mungkin akan segera memberontak demi merebut kembali kebebasannya.

::::

“Jadi, yang mana yang kamu pilih?”

Sebuah pistol laras pendek berwarna keperakan teracung tepat di depan Arga. Jari lentik kurus milik Vania kelihatan sangat pas dan kokoh memegang bedan pistol, sedang jari telunjuk sudah tepat menyelimuti pelatuknya. Wajahnya yang menatap ke arah pemuda itu lurus kelihatan serius, dengan alis hampir bertaut. Bibirnya berupa garis datar, mata kecokelatan yang biasanya cerah sedikit menggelap—dingin.

Arga masih belum memberi jawaban terhadap pertanyaan Vania. Roda gigi di dalam otaknya berputar cepat, mencoba mencari jalan keluar dari situasi menyebalkan ini. Bersamaan dengan keringat di dahi yang mengalir ke bawah dan mengenai alis, sebuah helaan napas berat keluar—yang akhirnya tertahan di tengah jalan, tatkala merasakan saraf di ujung-ujung jarinya mulai bisa digerakkan.

Matanya menatap lurus ke wajah di hadapan, menyipit sedikit saat mencoba menggerakkan jari tangan yang lain dari balik kaki—mencoba untuk tidak menunjukkan tanda apa pun kalau tubuhnya sudah mulai pulih dari efek lumpuh. Dan, bisa. Jari-jarinya mulai bergerak sesuai irama meski masih kaku.

Itu berarti, dengan sedikit trik dan usaha, Arga memiliki kesempatan untuk keluar dari situasi ini.

“Kamu akan diam saja sampai efek lumpuh itu habis? Kamu pikir aku akan membiarkan hal itu terjadi?”

Tanpa aba-aba, Vania menembakkan satu peluru. Suara pelatuk hampir tidak terdengar, sebuah senjata yang memang didesain untuk membuat pingsan musuh sebelum mereka sadar. Dan dengan kecepatan itu, Arga sama sekali tidak sempat memberi reaksi. Napasnya terhenti sesaat. Namun, menyadari dia tidak pingsan setelah beberapa detik pelatuk dipacu, dia menengok ke samping kiri dengan gerakan kaku dan lamban. Mendapati peluru dengan obat bius di dalamnya itu telah tertancap di kaki meja, hanya beberapa senti di samping lehernya.

Gadis itu mencoba mengancamnya, meski tangannya kelihatan gemetar setelah menarik pelatuk. Ia menatap gadis itu, datar tapi tidak gentar. Arga bisa keluar dari situasi ini. Kalau saja dia mengulurkan waktu lagi hingga bagian tubuhnya yang lain dapat digerakkan, ia pasti dengan mudah dapat keluar dengan membawa jurnal-jurnal itu.

Namun, ia tetap terdiam.

Mata Arga mengerjap beberapa kali, lalu melihat ke arah gadis itu sekali lagi.

Dia menyadari keseriusan yang terpancar dari mata itu. Tentu Arga tidak ingin melihat gadis itu terluka lagi, tapi ia juga tidak punya hak melarang Vania melakukan apa yang ingin dia lakukan. Tidak ada yang berhak. Kalau dia memaksa apa yang ia pikirkan paling baik pada orang lain, apa bedanya ia dengan pemerintahan saat ini?

Apalagi, setelah gadis itu sendiri menunjukkan aksi seberani ini; ia yakin meski ia sering memegang peralatan senjata dalam pelajaran, mengarahkannya pada seseorang jauh lebih sulit. Bahkan setelah apa yang terjadi padanya dua hari lalu—di mana ia pasti merasa trauma dengan keributan itu—Vania kembali lagi melangkah menuju jalan berisiko ini, meski memiliki kesempatan untuk mundur dan pura-pura tidak mengetahui apa pun.

SAY NO! Where stories live. Discover now