>> Part 2

305 45 22
                                    

“Manusia tidak hanya diciptakan dengan otak yang pandai memahami pelajaran formal. Manusia tidak dibuat dengan sesuatu sesederhana itu. Tuhan memiliki kuasa yang tinggi, hingga bisa menciptakan keanekaragaman pada wujud maupun kapasitas otak manusia.

Lalu kenapa, hanya mereka yang mendapat nilai tinggi dalam pelajaran saja yang dapat bertahan di tempat ini?”

::::

Gerakan tangan Arga saat menulis pada tab langsung terhenti ketika suara bel berbunyi nyaring. Laki-laki itu terdiam, tenggorokannya terasa kering. Untuk menenggak ludahnya sendiri saja rasanya susah sekali.

Ini waktunya.

Ia sudah sampai sejauh ini. Segera Arga selesaikan esai yang sedang dikerjakan lalu mengirimkannya lewat email. Meskipun jadwal pengumpulan tugasnya itu lusa nanti, ia lebih suka menuntaskan semua tugas sebelum menumpuk. Apalagi nantinya, ia ingin fokus pada masalah Freedom dulu.

Sebelum ini Arga telah menyelesaikan semua tugas untuk tiga hari ke depan. Ia mengorbankan waktu tidurnya yang dari awal sangat sedikit demi itu. Kenyataannya, meski terjadi banyak kericuhan di mana-mana sekarang ini, pihak sekolah sama sekali tidak memberikan kelonggaran bagi muridnya. Mereka tak gentar, tak membiarkan murid dengan nilai tinggi yang saat ini masih tenang dan tidak terprovokasi memiliki waktu banyak untuk berpikir.

Arga sangat paham itu. Meskipun ada banyak anak dari kelompok B yang merasa tersisih dan terwakilkan dengan keberadaan Freedom, mereka yang memiliki kelebihan dalam hal pelajaran tidak akan terlalu terprovokasi. Sekolah mungkin malah mengambil kesempatan ini untuk melihat kandidat orang-orang yang tahan banting dalam situasi genting.

Dirinya yang tidak ingin ketahuan sebelum mengambil keputusan tentu memilih menjadi salah satu dari mereka yang tak terprovokasi, meskipun itu berarti ia harus berjuang dengan mata berair karena terlalu lama menatap tablet. Beruntung tidak akan ada praktek dan penelitian skala besar beberapa hari ke depan, paling tidak ia masih bisa bernapas lega setelah akhirnya mengirimkan tugas terakhirnya itu.

Matanya lalu menelisik kelas. Tinggal dirinya sendiri yang ada di ruangan itu. Ia keluar kelas, menyusuri lorong menuju lantai teratas gedung kelas A yang penjagaan kamera CCTV-nya hampir berada di seluruh sudut. Ia relakan satu-satunya waktu bebas dalam sehari ini—waktu istirahat pertama—untuk menemui dia. Karena di waktu istirahat makan siang, mereka diwajibkan makan sambil diawasi ketat. Otak yang lancar memerlukan gizi dari makanan yang sehat. Bahkan untuk hal kecil semacam ini, semuanya diawasi agar selalu sesuai dengan standar mereka; demi mencetak siswa-siswa terbaik.

Biasanya, atap gedung ditutup dengan keamanan berlapis. Hal ini dikarenakan tingginya presentase bunuh diri dari tempat itu. Namun sekarang, di hadapannya pintu itu sudah terbuka sedikit. Ia tidak perlu mengkonfirmasi dari sensor mata dan sidik jari. Hanya satu orang yang bisa melakukan hal itu; orang yang—mungkin—sama dengan orang yang menyebabkan keributan alarm kebakaran tempo hari; Si Bodoh.

Arga masih tidak punya bukti konkret, tapi melihat dari situasi sekarang ia berasumsi Si Bodoh bukanlah satu-satunya orang yang mengatur dalam kelompok Freedom. Kalau diibaratkan, Si Bodoh adalah pelaksana rencana; tangan kanan dari pemimpin Freedom.

Arga memiliki firasat ada orang yang lebih berkuasa, lebih cerdik, dan orang yang mengorganisir semuanya; otak dari kelompok ini. Dan orang tersebut masih duduk nyaman di bangku kekuasaannya sembari memperhatikan pihak pemerintah dan polisi sedang memburunya tanpa sedikitpun jejak yang ditinggalkan.

SAY NO! Where stories live. Discover now