>> Part 5

321 63 29
                                    

Yang diperlukan setiap manusia bukanlah seseorang yang patut disalahkan atas kesialan yang menimpa mereka. Melainkan, sebuah perasaan yang membuat mereka menerima semua kekurangan diri.

Karena, hanya dengan menerima kelemahan itu manusia bisa mencintai diri sendiri.

***

Vania merasakan karat besi dari cairan kental itu kembali bercampur dengan ludah di mulutnya. Lidahnya tergigit saat laki-laki itu melancarkan sebuah serangan menuju pipi, tanpa bisa dihindari. Gadis itu terduduk di tanah sambil memegangi pipinya yang terasa sangat nyeri. Ini kali pertama, dia mendapatkan sebuah pukulan telak dari seorang laki-laki. Dan tidak bisa dipungkiri, rasa sakit yang diberikan membuat Vania tidak ingin mendapatkannya lagi.

"Seharusnya kamu tetap diam. Sekarang, berdirilah. Aku tidak akan mengasihanimu lagi."

Laki-laki itu menarik tubuhnya kencang, memaksa Vania kembali berdiri. Meski akhirnya Vania berhasil berdiri, sesungguhnya hanya kekuatan dari tarikan laki-laki itu di tangan kirinya yang membuatnya bisa begitu. Kakinya benar-benar tidak bisa berkompromi, bahkan hanya untuk memijakkan kedua telapaknya di tanah.

Perbedaan kekuatan tumpuan di tangan, dengan berat tubuh Vania yang menjuntai tanpa tenaga, membuat tangan kirinya terasa sangat sakit. Vania meringis untuk kesekian kalinya, saat laki-laki itu malah menariknya tangannya semakin kencang tanpa rasa kasihan.

Cairan dari mata atau dari mulut, entah keringat dingin karena takut atau karena lelah, dua-duanya telah meluncur deras melewati dagu Vania. Dia kehilangan keseimbangan, dan lututnya berakhir jatuh menghantam tanah. Sikap tubuhnya masih lurus berkat tarikan di tangan, tapi dia sudah kehabisan tenaga untuk bisa menumpu badannya di atas kedua kaki. Jadi, ketika tangan Vania kembali ditarik, Vania hanya bisa meringis, terjatuh lagi dan lagi di hadapan laki-laki itu.

Ketika akhirnya laki-laki itu melepaskan tangannya, Vania benar-benar jatuh tertelungkup di tanah. Napasnya terasa sesak, hingga ia terbatuk dan memuntahkan darah bercampur ludah keluar dari mulutnya. Tangan dan bagian depan seragamnya bersentuhan langsung dengan rumput-rumput pendek yang dirawat setiap hari oleh tukang kebun. Sudah dipastikan bajunya juga ikut kotor karena hal ini. Namun, bukan hal itu yang bisa ia khawatirkan sekarang, bukan?

Vania mengambil napas dengan terengah-engah. Seluruh tubuhnya tidak lagi bisa digerakkan. Namun, entah mungkin karena bodoh atau alasan lain yang tidak dia pahami, Vania malah kembali melihat ke arah kedua orang yang sudah dalam keadaan kacau, sama seperti dirinya. Mereka tertahan di tanah sambil menangis, tanpa tahu harus berbuat apa karena dikeroyok.

Vania tidak mengerti. Dia juga sedang terluka, tapi kenapa ... dia malah kasihan pada kedua orang itu? Mengapa perasaan sesak dan marah melihat ketidakadilan itu mengalahkan nyeri di seluruh tubuhnya? Mengapa dia ingin menyelamatkan mereka, meski dirinya sendiri dalam keadaan yang tidak bisa dikatakan 'aman'?

Apakah ini ... manusia yang sebenarnya? Ataukah, ini yang disebut 'manusia yang punya rasa simpati'? Vania tidak cukup yakin. Namun, ia tahu. Dirinya ingin menyelamatkan kedua laki-laki di sana. Bahkan jika mereka tidak saling mengenal sebelumnya.

Vania terlalu fokus pada kedua orang yang kini terkapar di tanah dengan kaki-kaki besar yang sesekali menendang dan menginjak, sampai tidak menyadari, laki-laki itu kini telah berjongkok tepat di sampingnya. Tubuhnya juga menghadap ke arah kerumunan yang sepertinya sedang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, dan memperhatikan apa yang Vania perhatikan.

Namun, tanpa diduga, jari-jari besar milik laki-laki itu menyusup di antara rambut halus milik Vania, lalu menarik rambut hitam kecokelatan sepundak itu dengan satu hentakan menyakitkan. Wajah Vania terpaksa mendongak dengan tulang tengkuk yang terasa bergeser berkat pergerakan yang tiba-tiba. Vania menggigit bibirnya sendiri menahan rintihan.

SAY NO! Where stories live. Discover now