Part 1

137 25 25
                                    

Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.

- Ir. Soekarno -

::::

Suara lift yang berderak halus mengisi ruangan kecil itu. Indira menyandarkan tubuhnya pada dinding belakang dan menutup mata pelan. Berusaha sama sekali mengabaikan perasaan diawasi karena CCTV yang terpasang di pojok lift dan menundukkan tatapan.

Sebuah embusan napas kembali ditarik, demi mengumpulkan setiap serpihan kekuatan dan kesadarannya nanti agar bisa tahan menghadapi orang itu tanpa mengeluarkan rasa amarah dan benci yang sudah mengumpul dalam dadanya sejak lama.

Keluarga? Hubungan darah? Indira sendiri bahkan tidak yakin apakah hal itu pernah terpikir oleh ayahnya. Probabilitasnya mungkin hanya di bawah lima persen. Ayahnya yang mengagungkan kekuasaan jarang berada di rumah, hingga gadis itu sangat yakin, di antara sedikit kenangan masa kecilnya yang pantas diingat, sosok itu sama sekali tidak ada.

Malahan, pria itu telah menjadi pusat mimpi buruknya sejak lama. Tuntutan dan tekanan sebagai anak pertama, standar tinggi yang ditetapkan sebagai anak dari keluarga Rawindra; secara singkat, sistem pendidikan yang diterapkan oleh ayahnya pada Indonesia saat ini hanyalah sebagian hal dari yang Indira kecap sejak kecil.

Orang biasa pasti telah menyerah menghadapi hidup sebagai dirinya sejak lama, namun di sinilah dirinya. Terus melangkah maju menuju satu-satunya tujuan hidupnya yang masih ia pegang erat.

Balas dendam.

Katakanlah Indira jahat karena memanfaatkan berbagai macam perasaan yang dibawa masing-masing remaja yang mengikuti langkahnya dalam kelompok Freedom untuk kepentingan pribadi, Indira tidak memiliki cukup perasaan bersalah untuk itu. Semuanya telah tersedot dalam kebencian dan amarah yang tertuju pada satu orang.

Dan Indira rela melakukan apa saja untuk membalas semua hal yang telah dilakukan ayahnya dengan cara paling kejam dan tidak akan bisa pria itu lupakan.

Pintu lift terbuka dan membawanya pada lantai 5. Ruangan tersebut terdiri dari dua ruangan terpisah; ruangan yang lebih besar sebagai tempat fitness yang sering dipakai ayahnya, dan ruangan yang lebih kecil di pojok kanan sebagai ruangan ganti dan kamar mandi.

Gadis itu segera mengambil langkah menuju ruangan di pojok kanan dan mulai melucuti seragamnya setelah masuk ke salah satu bilik. Pikirannya kembali melayang. Dadanya berdetak sedikit lebih cepat saat menyadari, di antara perasaan bahwa dirinya sangat tidak beruntung hari ini karena harus menemui orang itu, ada perasaan senang yang muncul di sana.

Orang itu datang di saat yang tepat, begitulah pikirnya.

Semua persiapan telah selesai dan Indira sudah mengonstruksi semua rencananya di dalam kepala tak terhitung jumlahnya. Namun selama ini rencana tersebut tak bisa dilakukan karena ayahnya tidak pulang ke rumah. Akhirnya, waktunya tiba.

Setelah memakai setelan yang telah diberikan padanya oleh pelayan tadi; sebuah atasan kaos kain katun berwarna hitam dan juga celana training dengan warna senada, Indira melangkah keluar dari bilik dan berjalan menuju tempat cuci tangan dan menatap wajahnya sendiri dari pantulan cermin berukuran besar di depannya.

Sudah jelas sekali apa yang akan terjadi saat mereka bertemu nanti. Ayahnya pasti ingin memastikan sendiri Indira masih baik-baik saja. Bukan secara fisik ataupun mental; tetapi dalam aspek perkembangan belajarnya dan juga setiap tingkah lakunya selama berada di luar rumah. Memastikan anak yang telah ia didik dari kecil melakukan semuanya dengan sempurna dan tanpa cela di hadapan orang lain, sebagai wajah dari keluarga Rawindra.

SAY NO! Where stories live. Discover now