● 1

4.3K 581 52
                                    

Luna memasuki halaman rumah sampingnya—rumah yang disewakan Celine pada orang yang akan datang nanti.

"Kak Luna!"

Luna menoleh, seorang bocah berusia 13 tahunan berdiri di tengah pagar, tidak diam, dia berlari di tempat.

"Pagi, Chan," sapa Luna. Dia mengamati wajah anak itu, Lee Haechan, Luna's fanboy.

Bukan fanboy juga sih, hanya saja anak itu sering sekali menempel pada Luna—seperti cicak. Menggemaskan memang, tapi kadang terkesan creepy. Apalagi anak itu 4 tahun lebih muda dari Luna. Terus terang saja, kadang Luna takut disangka pedofil. Padahal juga bukan. Lagipula selisih 4 tahun itu tdak terlalu jauh.

"Les vokal!" Kata Haechan sambil menunjuk ke depannya—masih dengan pose berlari di tempat.

"Sana, udah telat kan?" Luna mengibaskan tangannya mengusir Haechan. Padahal sudah tahu kalau terlambat tapi masih sempat-sempatnya genit.

Haechan tersenyum lebar lalu melanjutkan larinya setelah melambaikan tangan pada Luna. That's how Luna finds him cute.

"Om tAEIIIILLLL~" seru Luna menggebrak pintu rumah lalu masuk dengan langkah lebar.

"Kkamjagiyaa~" sahut Taeil, tapi ekspresinya sama sekali tidak terkejut. Malah cengar-cengir sambil melambaikan tangan.

Luna mendecih, lalu menghampiri Taeil, "Capek gak?"

"Enggak," jawab Taeil.

"Ya udah aku gak jadi bantuin kalo gitu," kata Luna lalu berputar haluan.

"Lah???"

Luna hanya terkekeh. Tapi sepertinya apa yang dia katakan tadi serius, dia tidak akan membantu Taeil membersihkan rumah. Lagipula sudah bersih dan sangat rapi.

"Om disini dari jam berapa?"

"Jam 6," jawab Taeil singkat lalu kembali berkutat pada pekerjaannya. Hampir selesai sih, tinggal mengepel.

"Pantesan udah selesai." Luna manggut-manggut. Btw, sekarang hampir jam 10 pagi.

"Pulang sana kalo gak mau bantuin," usir Taeil.

"Gak ah, tar mama ngomel," kata Luna. Dia mulai berkeliling lagi, melihat-lihat setiap sudut rumah minimalis yang didominasi kaca ini.

Sebenarnya dari dulu Luna sangat ingin tinggal di sini daripada di rumahnya yang sekarang. Alasannya sederhana: cantik. Meskipun hanya 1 lantai, tapi entah kenapa Luna lebih suka. Bahkan dari sini pun dia bisa melihat ke arah jendela kamarnya di lantai dua.

"Yang mau tinggal kesini pindahan dari mana? Amerika?" Tanya Taeil—sambil tetap menekuni pekerjaannya.

Luna menjawab dengan gedikan kecil di bahunya, padahal Taeil tidak melihat. Luna juga tidak peduli—pada Taeil maupun orang pindahan itu. Dari mana saja asalnya terserah, yang penting rajin membayar sewa. And all is well.

"Om Taeil udah sarapan?" Tanya Luna kemudian.

"Kenapa? Mau nraktir?"

"Gimana sih malah minta traktir anak kecil?" Protes Luna.

"You're 17," cibir Taeil.

"Yes, and I need 3 more years to be 20," sahut Luna.

Taeil menarik nafas kesabarannya, "Tapi udah ngerasain jatuh cinta kan? Itu tandanya udah dewasa," katanya.

"Halah," cibir Luna, dan Taeil tertawa. Sepertinya pria lajang berumur 30 tahunan itu memang sengaja mengejek Luna.

Fyi, Luna itu motaesolo. Dia belum pernah berpacaran. Jangankan berpacaran, melihat drama romance saja kadang dia mau muntah.

[2] Black Dog ; Mark Lee ✔Where stories live. Discover now