● 11

2K 423 54
                                    

silakan cek part atas kalau belum baca
karena ini double up!
beware of typos,
enjoy~

___________





Sejak hari dimana Irene dan Suzy ditemukan tewas di rumah Erica, Mark maupun Erica dan Haechan murung—tentu saja. Untuk sementara Erica dan Haechan tinggal di rumah Luna—karena hanya Celine yang mau menampung mereka selama rumah Erica disegel demi kepentingan penyelidikan. Sedangkan Mark, pemuda Kanada itu tidak pernah sekalipun menampakkan dirinya, bahkan absen sekolah tanpa alasan.

Luna pernah sekali datang ke rumahnya—di hari pemakaman Irene, tapi dia tidak bertemu dengan Mark. Hanya orang-orang asing yang dia temui, sepertinya beberapa dari mereka bukan orang Korea. Beberapa hari setelah pemakaman pun sama saja, Mark tetap tidak menampakkan diri. Hanya orang-orang berbaju serba hitam yang berlalu lalang keluar masuk area rumah Mark. Bahkan saat malam pun Mark tidak menyalakan lampu. Rumah gelap, dan jadi kelihatan sedikit menyeramkan.

Luna menghela nafas berat lalu beranjak keluar dari kamarnya. Dia berjalan melewati kamar Erica dan Haechan. Pintunya terbuka, jadi Luna tidak sengaja melihat ke dalam.

Seperti biasa, Erica hanya meringkuk di atas kasurnya—dia tidak berbicata sepatah katapun sejak hari itu. Dan jujur saja, Luna khawatir. Apalagi Luna yakin itu juga yang membuat Haechan sedih.

Ya, anak itu butuh hiburan. Tapi seseorang yang dia butuhkan justru tenggelam dalam perasaannya sendiri. Bahkan seseorang seperti Jun pun tidak bisa menyelam dan membawanya kembali ke permukaan.

"Chan?" panggil Luna. Anak kecil yang duduk bersandar pada kasur dimana Erica meringkuk itu mengangkat wajahnya, menatap Luna dengan wajah tanpa ekspresi.

"Kak Erica tidur?" tanya Luna.

Haechan hanya menggerakkan bahunya lalu lembali sibuk melihat kuku jarinya yang mulai panjang. Biasanya Suzy yang memotongkan. Bukan karena Haechan tidak bisa memotong sendiri, tapi Suzy biasanya akan langsung mengambil pemotong kuku kalau melihat kuku putranya panjang.

Haechan melepas senyum kecut. No one would cut it for him now. Tidak ada yang peduli mungkin, bahkan Erica.

"Chan," panggil Luna lagi. Dan lagi-lagi Haechan menjawab panggilan Luna dengan tatapan datar.

"Beli eskrim, yuk?"

Haechan menggeleng, "Aku mau tidur," katanya sambil naik ke atas kasur lalu berbaring di samping Erica.

Luna menghela nafas. Gagal lagi. Dalam hati dia mengumpati Erica. Seharusnya dia tidak seegois itu dan membiarkan Haechan ikut bersedih—she means, oke, semua orang tengah berduka saat ini. Tapi masih ada Haechan. Dibandingkan dengan murung sepanjang hari, doing nothing except breathing,  Erica seharusnya juga memikirkan adiknya.

Oke, terserah. Lagipula itu yang mereka inginkan. Bahkan Jun tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi Luna.

"Lunaaa," panggil Celine dari lantai bawah. "Ada tamu, tolong bukain pintunya! Mama lagi masak gak bisa ditinggal!"

Tanpa menjawab, Luna langsung bergegas menuju pintu depan untuk membukakan pintu.

"Oh? Tamunya Mama?" tanya Luna saat mendapati dua orang asing berdiri di depan pintu. Tapi aneh, rasanya Luna pernah melihat orang ini. Bukan wajahnya, tapi postur tubuhnya.

"Bukan," jawab orang itu. "Aku Jeffrey, teman Erica. Dan ini Rosé," lanjutnya sambil menunjuk gadis yang berdiri di sampingnya.

Luna ber-oh. Mungkin itu alasannya kenapa orang ini familiar. Tapi—teman? Sejak kapan Erica punya teman—selain Jun?

[2] Black Dog ; Mark Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang