4 : Masih ada ruang

10.9K 858 11
                                    

VOTE
Klik Bintang, Kak.

Pertemuan yang berlangsung sekitar empat jam, masih menyisahkan rasa tak karuan di dada. Pada kantong belanja yang kini isinya akan dipindahkan ke dalam kulkas, Khanza mencoba mengalihkan perhatian. Menetralkan gejolak hasil dari pergerakan hati.

Sudah bertahun-tahun lamanya, pada akhirnya ia bisa kembali merasakan suasana itu. Meskipun terasa sedikit berbeda.

Dhan seperti kembali memperkenalkan diri, begitu pun dengannya. Sama saja, waktu yang terbentang tanpa bertemu adalah alasan perkenalan itu dilakukan kembali.

Bunyi ponsel menghentikan lamunan. Khanza meraih benda itu yang berada di atas kulkas, sedetik kemudian ia tersadar. Belanjaan belum ia pindahkan ke lemari es, padahal seingatnya sekarang ia sedang melakukan hal itu.

Ah, ternyata melamun bisa meninggalkan jejak ketidakwarasan. Tanpa sadar, ia menertawakan diri sendiri.

"Assalamualaikum," sapanya kepada seseorang di ujung sambungan.

"Wa alaikumsalam, anak Umi."

Ia menarik ponsel dari telinga, menilik layar dan membaca siapa yang kini berbicara dengannya. Ah, benar, itu uminya.

"Ya, Umi? Ada apa?" tanyanya.

Kemarin kakak serta orang tuanya telah kembali ke Semarang. Pekerjaan mengharuskan abi dan kakaknya terpaksa tak bisa berlama-lama di Jakarta.

Khanza sendiri belum bisa kembali ke Semarang. Karena setelah berpikir ulang, ia akan menerima tawaran pekerjaan yang datang sejak bulan lalu. Lagi pula ia sudah terbiasa hidup sendiri sejak Andra tinggalkan sendirian di tempat ini. Jadi, menambah waktu menepi dari keluarga tidak masalah baginya.

Berkarir, itulah keinginan Khanza sekarang. Kasihan abinya, sudah mengeluarkan uang banyak untuk biaya sekolah, maka ia tak ingin menyia-nyiakan.

"Kok gitu?"

Khanza menaikkan alisnya.

"Umi nelepon kamu karena hal penting yang mau Umi omongin ke kamu," kata beliau. Terdengar serius di telinga Khanza.

"Apa Umi?"

"Za." Terjadi jeda, ia menunggu uminya melanjutkan ucapan. "Umi suka sama yang namanya Akbar."

"Astaghfirullahal-azim," ucap Khanza tidak menyangka uminya menyukai daun muda. "Umi, ingat umur, iih."

"Ingat umur gimana?"

"Umi udah punya abi--"

"Kamu salah paham," interupsi wanita itu.

"Maksudnya?"

"Umi suka Akbar jadian sama kamu."

"Astaghfirullahal-azim," ucap Khanza lagi. "Umi ngomong apa, sih?"

"Emang salah kalau Umi ingin punya menantu saleh?"

Khanza menghela napas kasar, tak tahu harus berkata apa kepada beliau. "Itu masih lama, Mi. Aku belum kepikiran ke sana."

"Eh, kamu itu udah selesai studi, jadi harus mikirin pernikahan juga."

Menghela nalas lagi, ia mengalihkan pandangan ke mana pun, mencari sesuatu yang bisa mengganti topik.

"Taaruf dulu," kata beliau lagi.

"Umi, aku ada janji sama temen," katanya mengalihkan pembicaraan.

"Kamu menghindar?"

"Enggak, Mi. Aku beneran punya janji." Khanza menilik jam dinding.

Ia memang punya janji, tetapi dua jam lagi. Vera, sahabatnya akan datang menjemput. Hari ini mereka akan pergi ke masjid kampus untuk kegiatan organisasi di setiap akhir pekan.

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα