30 : Kurangi Khawatir

10.6K 733 24
                                    

Otw ending. 🙃

Ada drama yang Khanza lakoni hari ini, sesuatu yang terbalut dengan kenyataan, jika disuruh memilih ia tak akan menjalaninya. Siapa yang mau merasakan nyeri di perut ketika sedang bekerja? Hanya orang tak waras, mungkin.

"Pulang aja, Za," saran Asni, "kerjaanmu juga udah selesai."

Hari ini atasannya tak bekerja, membuat ia kembali merasa sedang liburan di kantor. Khanza sudah mengirimkan jadwal kerja kepada asisten Vano yang langsung dibalas dengan ucapan terima kasih, tetapi berakhir dengan emotikon wajah memerah. Dalam chat pribadi tentunya, bukan surel untuk pekerjaan.

"Makanya, cepetan nikah. Biar nggak sakit lagi kalau datang bulan." Asni sudah mengucapkan itu sebanyak dua kali, Khanza bosan mendengarnya.

"Kalau nikah niatnya hanya untuk itu, mending nggak usah, Ce. Banyak obat pereda nyeri di apotek," ujarnya.

Asni melirik. "Kamu ini, nggak tahu peribahasa, sambil menyelam minum air?"

Sebenarnya ia sudah merasakan ini sejak tadi pagi, tetapi keadaan memaksa untuk ke kantor. Silvi, asisten Vano sangat membutuhkannya. Biar bagaimanapun, ia harus tetap bekerja meski atasannya tak berada di tempat.

"Udah mau jam istirahat, pulang aja, gih." Asni kembali mengusirnya.

"Aku takut Cece kesepian," balasnya setengah bercanda.

Sedari tadi Khanza menelungkup wajah di atas meja dengan berlapis lengan. Lima menit berlalu, merasakan nyeri dalam diam, ia bersandar di kursi merasa tak sanggup lagi. "Ce, sakit banget, aku ke bawah dulu beli obat," pamitnya.

"Eh, eh!" cegah Asni. "Diam di situ, kamu kalau sakit banget jangan jalan-jalan, diam aja. Nanti Cece minta tolong ke OB buat beli." Wanita itu langsung meninggalkan mejanya.

Khanza kembali menelungkup wajah di atas meja. Jika sejak tadi ia langsung meminum obat dan tak menunda, mungkin sekarang siksaan ini tidak akan ia rasakan. Menarik napas dalam, ia memejamkan mata kembali merasakan nyeri yang mulai merambat ke pinggul.

Meskipun sudah berkali-kali merasakannya, Khanza tidak akan terbiasa. Sakit ini adalah musuhnya di setiap bulan.

"Astaghfirullah," ucapnya sembari menghela napas pelan.

"Za," panggil seseorang.

Ia sedikit kaget mendengarkan panggilan itu. "Ya?"

Khanza tahu siapa yang kini bersamanya. Dhan, lelaki yang tadi pagi berniat menjemputnya, tetapi ia menolak karena nanti akan terlambat ke kantor. Hari ini Dhan bangun kesiangan, mungkin karena lelah. Sedikit merasa bersalah jika mengingat soal pizza tadi malam.

"Kamu sakit?"

Terdengar kursi di depan mejanya ditarik oleh seseorang. Lelaki itu kini duduk di sana, Khanza segan untuk mengangkat kepala karena pasti wajahnya sangat memprihatinkan untuk dilihat. Pucat, sudah jelas. Lesu, apalagi.

"Sedikit," kilahnya, padahal sekarang ia merasakan perutnya seperti dicincang memakai golok.

"Aku antar pulang, ya?" Dhan terdengar khawatir, Khanza tersenyum untuk perhatian itu.

"Kamu nggak kerja?" tanyanya.

"Pak Bima nyuruh aku istirahat duluan. Beneran, nih, sakitnya cuma dikit?"

Khanza kembali tersenyum di atas lipatan tangannya. "Kalau gitu kamu makan siang aja." Ia tak ingin wajahnya dilihat oleh Dhan, pasti sangat buruk.

"Aku anterin kamu dulu," Dhan tak ingin mengalah, "Za, serius kamu nggak apa-apa?"

Khanza mengangkat kepalanya perlahan, ia penasaran dengan ekspresi Dhan saat ini. Ketika mata bertemu mata, tawa keluar dari bibirnya. Wajah lelaki itu benar-benar berbeda dari biasanya. Ada ekspresi panik setelah meneliti wajahnya. Dhan langsung berdiri, kembali mengajak untuk pulang.

"Aku susah jalan, Dhan. Mau minum obat dulu, bentar lagi Cece balik bawa obat."

"Kamu pucat banget," Dhan kembali duduk, mata masih menilik wajah Khanza seperti tak ingin menarik pengawasan, "habis minum obat, aku anter pulang, ya."

"Tunggu obatnya bereaksi dulu, masak aku langsung disuruh jalan." Khanza sedikit menggerutu karena untuk berbicara dengan suara lantang, ia sudah tak sanggup lagi. "Tahu dari mana aku sakit?" tanyanya.

"Dari Ce Asni, tadi ketemu di lift." Dhan masih saja tak mengubah ekspresinya.

Khanza ingin tertawa, tetapi sakitnya menghalangi. "Dhan, wajahnya biasa aja." Akhirnya ia bisa mengatakan itu.

"Gimana mau biasa aja, kamu pucat banget," timpal lelaki itu.

"Bentar lagi baikan," Khanza kembali menyembunyikan wajah di atas lengannya. Seperti karyawan yang sedang malas, tetapi sebenarnya ia menahan sakit, memperlihatkan wajah meringis adalah kesalahan besar, "Dhan, katanya Umi mau ketemu kamu," ucapnya, mencoba menarik lelaki itu keluar dari rasa khawatir.

"Nanti aku anterin kamu, sekalian mampir." Dhan menyahuti.

"Kamu harus kerja lagi, kalau kelamaan di sana nantinya dimarahi Pak Bima." Sebenarnya Khanza sudah tak sanggup lagi berbicara, mendiamkan lelaki itu adalah pilihan yang salah. Bukannya di antar ke apartemen, mungkin ia akan langsung dibawa ke rumah sakit.

Baiklah, itu terlalu berlebihan. Khanza pun tak ingin mencium bau khas dari bangunan itu. Untuk menghindarinya, ia memutar otak mencari bahan ulasan.

"Dhan, aku belum minta maaf soal kelakuan Vera ke kamu." Khanza sadar, ini sudah termasuk terlambat untuk membahasnya. Namun, ia tak punya topik untuk membuat lelaki itu lebih rileks.

Waktu itu ia pernah berprasangka akan bertengkar hebat dengan Vera jika sahabatnya itu tahu ia masih bersama Dhan. Ada alasan mengapa Vera begitu, Khanza sudah diberitahu. Namun, tak sedikit pun rasa ini berubah, serta penilaiannya terhadap lelaki yang kini bersamanya.

"Nggak apa-apa," jawab Dhan, "mungkin malam itu dia khawatir."

Sangat khawatir, karena Vera punya alasan yang tak logis menurutnya. Mungkin sudah saatnya Khanza meluruskan, sekaligus ingin tahu apa yang dilakukan Dhan pada masa lalu.

"Dhan, kamu kenal Lusi?" tanyanya sembari mengangkat wajah untuk melihat ekspresi lelaki itu. "Kata Vera dia temanmu di Australia."

"Oh," Dhan menyahuti, ekspresinya terlihat santai. "Kenapa Vera kenal sama Lusi?"

Khanza mengangkat sekilas bahunya. "Selain ketemu umi, aku mau kamu ketemu Vera juga."

Ternyata mengajak lelaki itu membahas Vera, bukanlah hal yang salah. Wajah khawatir Dhan langsung menghilang, meskipun itu tidak berlangsung lama karena selanjutnya Khanza benar-benar tak bisa diajak bicara lagi. Sakit di perutnya tak mau bersahabat.

---

Bumbum 👀

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang