29 : What?

10K 801 40
                                    

"Di mana?" tanya Khanza pada seseorang di ujung sambungan.

Setelah dua hari menghilang, akhirnya lelaki itu menghubunginya. Khanza pikir tadi pagi Dhan sudah masuk kantor, mengingat Rian mengatakan Dhan sudah kembali ke Jakarta di hari yang sama.

Namun, ternyata tidak. Lelaki itu kembali tak bekerja, terhitung sudah dua hari.

"Di bandara, baru aja nyampe."

Khanza mengerutkan kening. Apa yang dikatakan Dhan sangat berbeda dengan Rian. "Kata Rian kamu pulang ke Jakarta kemarin."

"Iya, tapi aku langsung ke Padang, maaf baru ngasih kabar."

Ia tak tahu apa yang dilakukan keluarga itu di Padang. Mau bertanya takutnya disangka sangat ingin tahu. Hubungannya dan lelaki itu tidak sedetail orang lain, bahkan Khanza sendiri tak tahu dinamakan apa status mereka sekarang.

Menyalakan TV dan duduk di sofa, ia memfokuskan mata ke layar tipis tersebut, sedangkan telinga masih mendengarkan Dhan yang menceritakan bahwa lelaki itu hanya sebentar di Semarang, bertemu abinya kemudian jalan bersama Rian.

Layar televisi menampilkan iklan makanan, sangat pas dengan keadaan Khanza sekarang yang sedang lapar. Waktu menunjukkan pukul 21.35, hari ini uminya datang dari Semarang hanya untuk mengintrogasi tentang Dhan, katanya wanita itu ingin bertemu.

Khanza belum mengiyakan karena tadi lelaki itu belum memberi kabar.

"Enak, ih," gumamnya tak sengaja.

"Apanya yang enak?"

"Hm?" Ia baru sadar telepon masih terhubung. "Iklan pizza," jawabnya.

"Kirain orang yang meninggal."

"Siapa yang meninggal?" Kali ini ia benar-benar ingin tahu. "Innalilahi wa innailaihi rodjiun."

Terjadi jeda, ia mendengarkan Dhan berbicara dengan seseorang. "Masih ingat Aji?"

"Aji?" Khanza mengerutkan kening, berusaha mengingat nama itu.

"Adik angkat aku waktu SMA," Dhan menyahuti, "neneknya meninggal, aku datang melayat. Besok aku bakalan masuk kantor, kok."

"Oh ...," Khanza mengingat nama itu, tetapi mereka belum pernah bertemu, "kamu udah dua hari bolos."

"Iya, Ibu. Maafkan," ujar Dhan. "Tadi iklannya yang menu apa?"

"Hm?" Ia mengerutkan kening. "Cheesy Mayo," jawabnya setelah mengerti apa maksud lelaki itu.

"Tungguin, jangan tidur dulu. Aku beliin."

Ya, Dhan bermaksud datang malam ini juga ke apartemennya. Memang hanya untuk mengantarkan makanan, tetapi akan gawat jika uminya sampai tahu. Apalagi ini sudah malam. Mau menolak, Khanza takut lelaki itu tersinggung.

"Dhan," panggilnya, "udah malem, kamu langsung pulang aja, baru nyampe harusnya istirahat." Menolak secara halus.

"Nggak apa, aku juga nggak lagi nyetir, kok."

Seperti biasa, lelaki itu keras kepala. Khanza mematikan TV, ia menuju kamar. Membuka pintu penuh kehati-hatian, ia takut uminya akan terbangun. Wanita itu tadi mengatakan sedang sangat mengantuk karena datang mendadak  ke Jakarta tanpa rencana.

Ya, uminya bilang saat sibuk membersihkan rumah, abinya bercerita tentang Dhan yang datang ke Semarang. Alhasil, waktu yang seharusnya untuk istirahat, malah dilupakan oleh wanita itu karena langsung memilih terbang ke Jakarta.

"Kalau udah nyampe depan, jangan bunyiin bel. Telepon aku aja, soalnya takut umi kebagun nanti," ucapnya sembari menutup pintu pelan.

"Umi?"

"Iya."

"Umi kamu datang ke Jakarta?" Dhan terdengar terkejut.

Tiba-tiba Khanza seperti ingin menguji, apakah lelaki itu akan tetap datang atau menunda sampai besok, mengingat bukan hanya ia sendiri di tempat ini.

"Za, jangan tidur dulu, ini aku udah mau beli pizza-nya."

Ah, ternyata Dhan bukan penakut.

----

"Umi kamu beneran udah tidur?" tanya Dhan sembari memberikan kotak Pizza kepadanya.

"Iya," jawab Khanza, "kenapa?"

"Aku mau ketemu, sekedar ngucapin salam." Lelaki itu menaik-turunkan alisnya.

Khanza tersenyum. "Besok aja, ya?"

"Ya udah, kalau gitu aku langsung pulang," Dhan mengatakan itu dengan senyum yang menggantung, "assalamualaikum," lanjutnya.

"Wa Alaikum salam."

Dua detik berlalu, lelaki itu belum juga beranjak. Hening terjadi, Khanza mengerutkan kening. Jika dipikir-pikir, ini saat pertama mereka setelah ungkapan perasaan di hari itu. Pertemuan yang manis menurutnya, Dhan datang tanpa ia minta.

Sekarang ia belum ingin mendengarkan cerita detail tentang Dhan yang menemui abinya. Apa yang lelaki itu katakan, tanggapan abinya, serta pendapat Dhan tentang pria tersebut. Semua itu ingin ia tanyakan, tetapi belum menemukan waktu yang tepat. Bercerita di depan pintu seperti ini dan di pukul hampir tengah malam, bukanlah pilihan yang bagus.

"Udah?" tanya Khanza kepada Dhan yang tak henti menatapnya.

Lelaki itu memberikan cengiran, tangan menggaruk tengkuk, terlihat salah tingkah. "Aku pulang dulu," pamit Dhan lagi.

"Udah dua kali," Khanza tersenyum geli, "hati-hati di jalan."

Dhan mengangguk. "Iya," sahutnya.

Kali ini lelaki itu benar-benar angkat kaki dari hadapannya. Ada jejak yang ditinggal Dhan, berupa degup jantung cepat yang Khanza rasakan. Ini gila, ia merasa seperti remaja baru merasakan jatuh cinta. Jika sekarang dirinya sedang bersama orang lain, mungkin akan langsung dikatakan gila karena tak henti tersenyum.

"Kamu dari mana?" Wajah kantuk uminya menyambut di dapur.

Khanza terdiam, ia mengerjapkan mata, mencari jawaban. "Pizza, umi mau?" tawarnya sembari mengangkat dua kotak di tangan.

"Udah tengah malam kamu makan pizza, mau gendut kamu?"

"Hehe ...." Ia memberikan respons yang aneh.

Untuk saat ini ia menghindari pertanyaan yang akan berakhir kebohongan. Akan lain cerita jika uminya sampai tahu pizza tersebut dari Dhan yang diantar pada malam hari. Khanza takut penilaian uminya kepada Dhan akan berkurang sebelum bertemu.

"Oh iya, besok Umi harus ketemu sama pacarmu itu. Ajak dia ke sini."

What? Pacar?

"Khanza nggak pacaran sama Dhan." Ia pun bingung akan dinamakan apa hubungan ini.

Mata kantuk uminya langsung terbuka sempurna. "Nggak pacaran gimana? Dia udah ngelamar kamu, pasti ada apa-apanya sebelumnya."

Ya, memang sebelumnya ada, semacam rasa yang sama, tetapi lama tersampaikan. Khanza memberikan cengiran kepada wanita itu. "Dhan nggak ngajak pacaran, dia cuma bilang mau hidup sama aku."

"Laki juga, ya, dia." Uminya menganggukkan kepala. "Terus, si Akbar bagaimana?"

"Umi!" protes Khanza, wajahnya kesal dan cemberut.

**

Vote komen

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Where stories live. Discover now