EPILOG

8.1K 500 33
                                    

"Kamu serius?" Ayahnya menatap ragu ke Dhan. "Ayah, sih, nggak masalah. Cuma, kamu beneran serius?"

Ia mengangguk mantap. "Aku serius, Yah."

Di ruang kerja tempat ayahnya menghabiskan sebagian waktu libur di rumah, Dhan mengungkapkan keinginannya. Pria itu masih tak percaya ketika ia mengatakan ingin serius ke tahap lebih tinggi dari sekadar saling sapa bersama seorang perempuan.

Lima hari setelah pertemuannya bersama ibu dari Khanza di mana ia dites untuk mengaji, mengantarkan beliau ke bandara kemarin, akhirnya Dhan punya waktu untuk membicarakan ini bersama ayahnya. Pria itu sangat sibuk setelah kembali dari Padang, bahkan untuk urusan Aji yang pindah sekolah, bundanya ikut turun tangan.

Ya, adik angkatnya itu sekarang sudah bersama mereka di rumah ini. Risya memiliki teman, meskipun di awal perkenalan ada penolakan. Nasib Aji sama seperti Dhan dulu, di saat pertama kali kembali dari Australia.

"Udah ketemu orang tuanya?" tanya Kenan, menautkan tangan di atas meja.

"Udah," jawab Dhan.

Pria itu menatapnya sedikit terkejut. Mungkin tak menyangka Dhan sudah mengambil langkah lebih dulu, sebelum mengatakan keinginannya kepada orang tua.

"Udah kasih tahu ke bunda?"

"Udah," jawab Dhan.

Pria itu menatapnya sedikit terkejut. Mungkin tak menyangka Dhan sudah mengambil langkah lebih dulu, sebelum mengatakan keinginannya kepada orang tua.

"Udah kasih tahu ke bunda?"

Dhan menggeleng. "Makanya aku bilang ke Ayah dulu, biar nanti bisa sampai ke bunda." Ia tersenyum memperlihatkan deretan giginya. "Bunda cerewet kalau soal ini."

Ayahnya menghela napas, mungkin memaklumi dirinya yang tak akan berdaya di hadapan wanita itu nanti. "Nanti Ayah yang sampaikan ke bunda."

"Oke, kalau gitu aku tidur dulu," kata Dhan yang langsung berdiri.

"Ini belum selesai, Dhan. Duduk lagi," perintah ayahnya.

"Aku udah selesai," ujarnya. "Besok ulang tahun Risya, nanti aku ajak Khanza ke sini. Ayah jangan lupa bilang ke bunda, takutnya nanti bunda jantungan kalau aku kasih tahu tiba-tiba."

Ayahnya berdecak serta mendelik kepadanya. Sebelum mendengarkan ocehan pria itu, Dhan lebih dulu angkat kaki dari sana. Ia tahu apa yang akan menjadi bahan omelan Kenan, tentu saja tentang sikapnya yang tak ingin memberitahu kepada sang bunda tentang hal ini.

Membuka pintu kamar dan melangkah untuk masuk, Dhan menilik seseorang yang sedang duduk di kursi dan menghadap meja belajarnya yang sudah lama tak digunakan. Sempat terbesit waktu itu untuk menyingkirkan meja tersebut dan mengganti dengan meja yang lebih pantas berada di dalam kamar karyawan, tetapi sangking sibuknya ia selalu lupa.

"Masih belajar?" tanya Dhan kepada anak laki-laki yang memunggunginya.

Sejak kedatangan Aji ke rumah ini, adik angkatnya itu tak ingin tidur di kamar sendirian. Padahal, ayahnya sudah menyiapkan kamar, tetapi Aji malah mengetuk pintu kamar Dhan, lalu memilih tidur di sebelahnya.

Hal ini sedikit membuat Dhan tak memiliki waktu sendiri di malam hari, ia harus memberikan contoh kepada adiknya untuk tidur sebelum jam sepuluh malam, tak bermain game sebelum tidur, serta melakukan ritual cuci kaki, sikat gigi, dan mengganti pakaian sebelum tidur. Alhasil piyama yang tak pernah digunakan, kini harus ia pakai karena bundanya meminta untuk mengajarkan Aji hidup bersih.

Dhan nikmati saja, menganggap ini adalah pelajaran untuk mengurus anak. Sedikit tersiksa di awal karena biasanya ia tidur di atas jam sebelas malam. Ya, untuk membuat Aji disiplin waktu, yang ia lakukan adalah pura-pura tertidur di sebelah adiknya.

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Where stories live. Discover now