28 : Padang

7.4K 628 29
                                    

"Aku pergi dulu, An," pamitnya kepada Rian yang malam ini mengantarkan ke bandara.

Lelaki itu mengangguk. "Salam sama bunda," ucapnya, "sama ayah dan adikmu juga, siapa namanya?"

"Risya." Dhan menjawab, temannya itu selalu lupa dengan nama adiknya. "Aku pamit, nanti kapan-kapan ke sini lagi."

Sampai di Semarang pada pukul 09.54 dan kemudian pulang di malam hari. Urusan Dhan cuma sebentar di tempat kelahirannya, hanya bertemu dengan ayah dari Khanza. Itulah tujuannya.

Apa yang dilakukannya hari ini tak diketahui oleh Khanza, ia memang tak mengatakan apapun. Dhan ingin berjuang sendiri, sebagai perempuan Khanza hanya perlu menunggu. Meskipun tadi, di dalam hati ia berseru memanggil nama perempuan itu untuk membantunya yang mati kutu ditatap Pak Hermawan.

Ekspresi pria itu terlihat sangat galak. Ia langsung teringat ucapan sang ayah di hari mereka bertemu Pak Hermawan dan Khanza di restoran. Waktu itu mereka berdua masih duduk di bangku SMA, untuk pertama kalinya Dhan berjumpa beliau.

Ia tak bertemu Andra, tetapi tadi pagi Dhan sempat mengirimkan chat, mengatakan bahwa sedang berada di Semarang. Ditanya apa yang sedang dilakukannya di kota ini, ia jawab liburan. Ah, dirinya sudah berbohong pada calon kakak ipar.

Soal hasil pertemuannya dengan Pak Hermawan, Dhan hanya mendapatkan satu kalimat yang menenangkan. Meskipun terlihat galak, pria itu tetap bertutur kata lembut. Ya, yang ia maksud lembut adalah, tak menusuk hati atau menjatuhkan dirinya.

Beliau berkata, "Kalau saya terserah Khanza. Dia yang menjalani, kalau dia pilih kamu, ya ... mungkin itu yang terbaik."

"Tenang, Om. Saya memang yang terbaik," bisik Dhan penuh percaya diri, ketika pesawat mulai meninggalkan bandara.

----

Kabar duka yang ia terima membuatnya tak bisa mendarat di Jakarta. Padang menjadi tempat tujuan, kota yang baru kali ini ia pijak. Dhan menatap punggung kecil anak laki-laki yang sempat ia tolak menjadi adik.

Aji masih menangis di hadapan jenazah wanita tua. Anak itu sudah berumur sepuluh tahun, pipi tak tembam lagi, yang Dhan dengar, adik angkatnya itu sudah duduk di bangku kelas lima SD. Lama tak bertemu, Aji kini semakin besar.

"Risya nggak suka di sini, banyak yang nangis," keluh adiknya.

"Jangan gitu, ah." Dhan merapikan rambut Risya yang kini berada di pangkuannya.

Ia baru saja tiba di rumah duka setelah mandi dan berganti pakaian di hotel. Fajar baru menyapa ketika ia menuju ke tempat ini. Orang tuanya bersama sang adik sejak semalam menemani Aji, anak itu masih sangat dekat dengan ayah dan bundanya.

Dhan tahu mereka tak memutuskan komunikasi, bahkan jika liburan atau kerja keluar kota, terkhusus Padang, ayahnya akan menyempatkan diri untuk singgah. Sekadar temu kangen dan mengajak untuk berbelanja.

"Nggak suka, Mas." Risya masih saja mengeluh.

Sejujurnya Dhan belum berbicara dengan Aji, dalam hati ada rasa bersalah ketika melihat punggung kecil tersebut. Kebersamaan mereka di waktu itu sangat singkat, sesingkat itu pula ia merasakan keberadaannya terancam.

"Dhan," panggil bundanya, "temenin Aji dulu, Risya biar Bunda yang jaga."

Ia mengangguk, menurunkan Risya dari pangkuan. "Di mana?"

"Kamar itu, ada ayah di dalam. Aji udah gede, nggak mau ganti baju sama Bunda," jelas bundanya sembari menunjuk sebuah pintu. "Kamu belum ketemu Aji, 'kan?"

Ah, ternyata bundanya tahu. Dhan segera menuju kamar tersebut, pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah, sang ayah yang sedang menyiapkan pakaian putih di atas kasur.

"Yah," Dhan masuk ke dalam kamar tersebut, "Aji mana?"

"Masih mandi," jawab Kenan. "Kata Pak Bima kamu bolos kerja kemarin."

Mampus, Dhan ingin segera berlari dari tempat. Ayahnya kini menatap meminta penjelasan. Ia duduk di tepi ranjang, memasang wajah santai seakan tak berdosa. Ingin jujur, tetapi belum saatnya ia menjelaskan.

"Ada urusan," jawabnya.

Pintu yang berada di sudut kamar terbuka, seorang anak laki-laki keluar dari sana, handuk menggantung di pinggul. Penyelamat, Dhan bersyukur Aji datang di waktu yang tepat sebelum dirinya mendengarkan omelan panjang sang ayah.

"Hai, Aji," sapanya.

Anak itu menatapnya lama, tak menyahuti. Baiklah, Dhan pikir Aji sudah melupakannya.

"Dia lupa sama aku, Yah." Mengadu kepada Kenan.

"Maklum, Aji ketemu kamu waktu umurnya masih empat tahun." Ayahnya meraih sehelai pakaian. "Sini, pakai daleman dulu." Meminta Aji untuk mendekat.

Anak itu terus menatap Dhan, alis mengerut seperti sedang memutar otak, mencari tahu siapa yang sedang berperilaku sok akrab di dalam kamar ini.

Kenan terkekeh. "Itu Abang Dhan, Aji lupa?"

Aji mengangguk. "Anaknya Ayah?"

"Iya, itu abangnya Aji juga. Iya, kan, Bang?" Mengalihkan pandangan kepada Dhan.

"Iya, dong," sahutnya.

Ia sudah terlalu tua untuk menolak hubungan ini. Aji tak memiliki siapa-siapa lagi, seorang nenek yang menjadi penopang hidup, kini sudah tak ada. Sangat jahat jika ia tidak menerima anak itu sebagai bagian dari keluarga.

"Aji ikut ke Jakarta, ya?" Kenan sedang membujuk, "tinggal sama Ayah, bunda, abang, dan Risya. Sekarang Aji udah punya adik."

"Emang boleh?" Anak itu menyahuti.

"Boleh, dong. Kalau Aji mau, nanti Ayah urus pindahan ke Jakarta."

"Mau, ya, Ji? Biar Aji ada yang jagain." Dhan ikut membujuk.

Kenan membantu menggunakan baju koko kepada anak itu. "Biar Ayah gampang buat ngawasin Aji. Mau, ya?"

Aji mengangguk. "Tapi, Aji nggak bakalan dimarahin, kan, Yah?"

"Kalau nakal dimarahin, dong. Masak Ayah puji."

Dhan hanya menjadi pendengar di obrolan selanjutnya. Aji setuju untuk ikut bersama mereka ke Jakarta, ia pikir itu pilihan yang terbaik, meskipun sebelum berangkat mereka akan meminta izin ke pamannya Aji.

Jauh di dasar lubuk hati, Dhan berharap anak itu diizinkan untuk diasuh oleh mereka agar ia bisa menebus rasa bersalah yang mengentayangi diri ini sejak mendengarkan kembali nama Aji.

---

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Where stories live. Discover now