17 : Optimis Vs Pesimis

6.1K 549 11
                                    

Kesalahan terbesar yang Dhan lakukan hari ini adalah, merutuk diri sendiri karena mau diajak ke tempat ini. Sungguh berdosa, seharusnya ia tak perlu memiliki perasaan kesal ketika tahu rasa optimisnya kini sedang ditertawakan oleh pesimis yang datang entah sejak kapan di dalam dirinya.

Lelaki itu begitu bersinar, duduk bersila di depan sana, membagikan ilmu yang bermanfaat. Ini kedua kalinya ia bertemu Akbar dan kedua kali pula lelaki itu menjatuhkan percaya dirinya.

"Dhan," panggil Leon dengan suara berbisik, tepat di telinga kanannya. "Lo ngelihatin orang itu kayak mau jatuhin diri ke jurang."

Ia melirik sepupunya, menghela napas sebelum berujar, "Dia Akbar."

"Emang, tadi pembawa acara juga bilang namanya Akbar." Lelaki itu melihat sebentar ke arah Akbar yang masih membagikan ilmu islam di depan sana. "Kenapa emang?"

Percuma berbicara dengan Leon, sepupunya itu tak tahu apa-apa tentang perjolakan hati di dalam dadanya. Kalaupun sekarang ia bersama Nadila, pasti pembicaraan ini akan terhubung hingga menemukan ide gila perempuan itu di akhir percakapan.

Seperti saat ini. Dhan tahu niat Nadila baik, ia pun tahu duduk di tempat ini adalah hal yang bukan sia-sia. Namun, perempuan itu selalu mengabaikan situasi. Duduk di sini malah membuatnya minder, ingin menjatuhkan diri ke jurang.

"Temannya Khanza?" tanya Leon.

Dhan sedikit bersyukur Leon mengingat siapa Akbar, meskipun hanya bermodalkan obrolan singkat bersama Nadila kemarin malam.

"Gue serem kalau punya temen kayak gini." Mata lelaki itu menilik Akbar. "Kena ceramah terus gue tiap hari."

Bukan soal diceramahi, Dhan malah takut jatuh dalam persaingan. Mundur berarti kalah, maju berarti siap kalah. Sama saja, ia tak punya pilihan yang diinginkan.

Mereka duduk bersila di lantai masjid, berada di barisan akhir dari lingkaran. Nadila tidak bersama mereka saat ini, karena perempuan itu kini duduk di tempat kaum Hawa.

Ilmu yang dibagikan Akbar adalah tentang perbedaan di muka bumi ini. Dalam Al-Qur'an pun sudah dijelaskan bahwa perbedaan itu benar adanya, hanya saja yang membedakan manusia di mata Sang Pencipta adalah ketakwaan.

Dhan pernah mendengarkan siraman rohani dengan tema yang sama, tetapi kali ini beda suasana. Perasaannya campur aduk, di satu sisi kagum pada lelaki itu, di satu sisi ingin berlari meninggalkan tempatnya berpijak sekarang.

"Dia saingan lo?" tanya Leon.

Ditanya begitu, Dhan mendorong wajah sepupunya ke arah berlawanan agar tak melihat wajahnya. "Diem, denger, jangan ribut."

"Bener berarti." Lelaki itu menyimpulkan sendiri. "Mundur aja, Dhan. Lo nggak bisa menang lawan yang kayak gini."

Tanpa diberi tahu, Dhan sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Ini sudah ia pikirkan sejak lama, tetapi rasanya ada cahaya yang sedang menunggunya di ujung kisah. Untuk sesuatu yang belum pasti, ia menjadi terombang-ambing pada dua pilihan.

"Gue tahu." Ia menimpali.

"Khanza nggak butuh harta, dia butuh yang kayak gini." Leon berpendapat. Setelah menilai Akbar dari jauh, lelaki itu menengok sosok di sebelahnya. "Lo emang cakep, kalau soal harta nggak perlu diragukan lagi, tapi lo dangkal Dhan. Di kepala lo cuma hitungan, bukan agama."

"Nggak usah dijabarin, gue tahu udah kalah." Dhan mulai kesal.

"Sabar," Leon mengusap bahunya. "Masih banyak cewek lain di dunia ini. Perbaiki diri kalau mau yang kayak Khanza."

Ada benarnya, tetapi Dhan tidak membutuhkan penghiburan seperti ini. "Habis dari sini, ingatkan gue buat ngehajar lo."

Leon berdecak, menarik tangan dari bahu Dhan. "Lo lagi gue hibur, bukan gue jatuhin." Mendengkus, lelaki itu kembali fokus pada jalannya kajian.

"Allah berfirman dalam surah Al-hujurat ayat 13." Akbar nampak bersinar di depan sana, melantunkan ayat suci Al-Qur'an beserta terjemahannya agar dipahami oleh hadirin.

"Gue selesai di sini," kata Dhan. "Aargh ... kenapa harus dia, sih?"

Dunianya tidak seimbang, awalnya Dhan butuh pegangan agar tak jatuh, tetapi kali ini ia tak butuh itu, karena memang lebih memilih jatuh menerima kekalahan. Ah, ia harap ada kebahagiaan yang sedang menunggunya di akhir kisah.

"Tapi, Dhan ...." Kali ini Leon tak menoleh ke arahnya ketika berbicara. "Lo masih punya kesempatan kalau Akbar nggak suka sama Khanza."

Mendengar itu, ia seperti melihat seseorang melemparkan tali pada keputusasaannya yang hampir menyentuh dasar dunia. Dhan masih punya kesempatan, semua tergantung perasaan lelaki itu pada Khanza.

"Lo kayak bucin tahu nggak, Dhan," kata Leon tak berperasaan. "Kenapa Khanza terus? Di dunia ini cewek bukan cuma Khanza."

Menghela napas pelan, ia menoleh pada sepupunya. "Apa yang bikin gue bertahan?" Dhan menatap serius pada lelaki itu. "Akhlaknya."

Leon terdiam sebentar. "Oke, semangat." Hanya itu yang bisa dikatakan, ia seperti kehabisan kata.

😊😊
VOTE!

Btw, kayaknya aku bakalan un-publish cerita Ayah Kenan, deh. Nanti aku publish lagi dengan penulisan yang udah rapi tentunya, sesuai peraturan KBBI dan PUEBI.

Aku revisinya 3 bulan, lhoo.

Selanjutnya aku mau revisi Different

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selanjutnya aku mau revisi Different. 😪
Mungkin akan memakan waktu 4 bulan, mengingat part cerita ini lebih banyak dari Direction.

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Where stories live. Discover now