22 : Kemenangan Nadila

7.3K 641 16
                                    


Tak ada salahnya jika seseorang ingin melangkah lebih maju, tetapi harus tetap berjalan pada kaidah. Khanza tahu apa yang terjadi pada dirinya adalah perubahan besar yang tak bisa ia kekang. Sungguh, ia pun ingin berjalan semestinya, tak melenceng dan tetap lurus.

Ia mengoleskan blush on ke pipi, dengan sapuan lembut, berharap tak begitu kentara warna merah muda yang memberikan kesan tak pucat di wajah. Setelah merasa sesuai keinginan, Khanza mengoleskan pewarna bibir menambahkan kesan manis.

"Kamu pergi sama temen, Za?" tanya seorang perempuan yang kini berbaring di kasurnya.

"Iya." Khanza menjawab, ia memperhatikan lagi wajahnya di pantulan cermin.

Pakaian berwarna merah muda, menutupi hingga mata kaki, hijab yang senada menutupi kepala. Secara keseluruhan ia tak menggunakan sesuatu yang berlebihan. Masih sebatas wajar, tetapi niat yang ada di hati membuat diri ini seakan bukan ia yang seperti biasanya.

Dhan akan menjemputnya untuk pergi bersama menghadiri undangan. Khanza sudah janji ingin menemani lelaki itu, Vera yang kini bersamanya, belum ia beritahu akan pergi dengan siapa dirinya malam ini.

"Cowok atau cewek?" Vera bertanya lagi.

Di pantulan cermin, Khanza melihat wajah sahabatnya yang begitu penasaran. "Cowok," jawabnya, buat apa berbohong jika sebentar lagi Vera pasti akan tahu.

Vera langsung bangkit. "Siapa? Sepupunya Nadila itu?"

Minggu lalu tepatnya di hari sabtu, Vera sempat berkenalan dengan Dhan. Ketika berpisah dengan lelaki itu di teras masjid, pertengkaran Nadila dan Vera mengganggu kupingnya. Khanza menjadi penengah, tetapi tak didengarkan. Masing-masing punya tujuan yang sama dan punya jagoan yang beda. Siapa pun pasti risi jika dijodoh-jodohkan seperti ini, apalagi sampai membuat orang lain bertengkar.

"Iya," jawab Khanza lagi, "Dhan, yang kenalan sama kamu waktu itu."

Ia bangkit dari duduk, meraih tas kecil yang hanya berisi handphone dan dompet. Sekali lagi melihat penampilannya di pantulan cermin. Semoga perubahan ini tak menimbulkan tanda tanya dari siapa pun. Termasuk Dhan. Khanza tak ingin lelaki itu bisa menebak.

"Aku akui dia keren, kelihatan anak orang kaya. Aku fokus ke jam tangannya, Abangku sampai nabung selama lima bulan cuma buat beli jam tangan kayak punya dia."

Vera tidak salah menilai, apa yang perempuan itu sebutkan ada pada Dhan. Siapa pun yang baru bertemu Dhan pasti akan langsung menilai seperti itu. Penampilan dulu, sebelum sifat dan sikap.

"Kamu kalau sama dia pasti sejahtera, nggak bakal ngerasain susah makan." Vera masih melanjutkan ucapannya. "Tapi, aku belum tahu sifat asli laki-laki itu. Lihat kamu jadi kayak gini ... mana mungkin aku bakalan bilang dia orang yang jahat."

"Alhamdulillah," sahut Khanza, ia bersyukur Dhan tidak dinilai jelek oleh sahabatnya.

"Kamu serius suka sama dia, Za?"

Pertanyaan itu membuat Khanza yang ingin meraih sepatunya, menghentikan aktivitas. Ia melirik Vera sekilas, ada ragu menggantung di lidah, mengingat sahabatnya itu sangat mendukung ia bersama Akbar dan bukan orang lain.

Namun, ketika ia berpikir bahwa ini adalah hidupnya yang akan dijalani sesuai keinginannya, keberanian itu datang. Tanpa menoleh untuk melihat ekspresi Vera, Khanza mengangguk membenarkan. Mau berbohong pun sudah ketahuan, ia akui gerak-geriknya sangat menggambarkan perasaan itu.

"Terus, Akbar?" Vera bertanya lagi, tetapi kali ini nada bicaranya tak bisa dikatakan santai, perempuan itu sedang protes.

"Aku nggak pernah bilang suka sama Akbar," ujar Khanza.

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Where stories live. Discover now