5 : Pengangguran kaya

9.6K 855 20
                                    

"Mas, pakein dong." Risya mengangkat seat belt yang melilitnya. "Risya nggak bisa," keluh bocah empat tahun itu.

Dhan menoleh, ia menghela napas pelan. Dipikirnya Risya sudah mahir mengenakan seat belt karena sedari tadi sibuk tak ingin meminta tolong.

"Lain kali bilang, dong, kalau nggak bisa."

"Habisnya, Mas sibuk main HP," sela Risya.

Memang benar sedari tadi ia memainkan ponsel sembari menunggu adiknya itu mangatakan sudah selesai mengenakan seat belt. Ternyata yang ditunggu belum bisa mengenakan sabuk pengaman.

"Sudah," kata Dhan, ia kembali meraih ponsel.

Jalanan masih macet dengan kendaraan para orang tua yang sedang menjemput anak mereka pulang sekolah, membuat Dhan menunggu jalan lengang kemudian bisa kembali ke rumah.

Setelah umur menginjak empat tahun, Risya dibiasakan berada di sekolah tanpa Suster Ima. Beruntung adiknya itu tidak protes dan lebih senang. Katanya karena bebas bisa berbuat apa saja.

Ingatkan Dhan untuk menceritakan kepada Risya tentang betapa enaknya menjadi anak berprestasi di mata para guru, agar adiknya mau belajar dan bukan mengatakan di sekolah terasa bebas karena tak ada Suster Ima.

Ada-ada saja tingkah bocah zaman sekarang.

"Mas, kita ke kantor ayah, yuk," ajak Risya.

"Enggak. Nanti ganggu," tolak Dhan.

Jalanan telah lengang, ia menyalakan mesin mobil bersiap meninggalkan sekolah adiknya.

"Ayo dong, Mas." Risya memaksa. "Di rumah sepi, Sus Ima pulang ke rumahnya."

"Kan, ada Mas. Nanti mainnya sama Mas aja," kata Dhan, ia pun tak mau mengalah.

"Iiih ... Mas main HP mulu."

Wajar, karena Dhan tidak punya aktivitas selain makan, mandi, buang air dan tidur. Menjemput adiknya saja, jika tak disuruh sang bunda, maka ia pun tak akan bergerak dari posisi nyamannya.

Bukan karena tak ingin merubah diri, ia hanya sedang berusaha mencari cela untuk keluar dari gejolak yang dirasakan sekarang. Maksudnya adalah, antara menerima atau tetap pada pendirian.

"Mas!" panggil Risya.

Dhan menoleh sekilas, wajah adiknya sudah tidak enak untuk dipandang. Ada dua pilihan sekarang, mendengarkan Risya mengoceh atau menikmati suara tangisan. Dua-duanya sungguh tidak enak untuk dijalani.

"Kita beli ayam goreng aja, gimana?" bujuknya.

"Nggak mau!"

Begini rasanya kalau punya adik yang masih kecil, seperti sedang mengurus anak sendiri. Dhan mencoba untuk menikmati, lagi pula awalnya ia yang meminta ingin punya adik. Ah, sekarang ia harus terima dibuat repot.

"Iya, kita ke kantor ayah," ucapnya pasrah karena tak tahan mendengarkan rengekan anak itu.

"Hoorreee!"

----

"Ketuk," suruh Dhan kepada adiknya.

Sudah lama ia tak datang ke bangunan enam belas lantai tersebut. Resepsionis masih wajah yang sama, beberapa karyawan pun begitu. Mereka mau menyunggingkan senyum kepadanya ketika berpapasan.

Entah tulus atau hanya mencuri hati, Dhan tak terlalu mahir untuk menilai senyuman seseorang.

"Ayah!" Risya berteriak sembari mengetuk.

Sekertaris serta beberapa karyawan telah menjadikan mereka berdua fokus retina karena suara cempreng Risya. Dhan membuka paksa pintu itu, tak ingin adiknya berlama-lama mengganggu para pekerja.

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Where stories live. Discover now