Chapter 8 New Staff

1.5K 278 28
                                    

.
.
Hari ini Seungwan pulang terlambat. Ia baru menginjakkan kakinya di rumah tepat pada pukul delapan malam. Tapi rupanya jam delapan malam belum cukup terlambat bagi Yoongi. Seungwan langsung mencari-cari sosoknya di seluruh penjuru rumah begitu ia sampai, tapi dia tidak menemukannya.
Seungwan akhirnya terduduk di sofa besar di ruang tengah. Segudang pekerjaan yang harus ia kerjakan tadi membuatnya lupa mengenai apa yang terjadi tadi pagi. Sekarang Seungwan sedang tak memikirkan apapun, membuat benaknya memutar kembali memori tadi pagi.
Seungwan memberenggut. Apakah Yoongi tidak pulang karena kejadian tadi pagi? Atau Yoongi sedang lembur? Mengerjakan proyek baru?
Berusaha berpikir positif, Seungwan beranjak dari duduknya. Membersihkan diri, kemudian menunggu. Menunggu Yoongi pulang. Berselonjor di sofa besar ruang tengah, bermain dengan ponselnya untuk mengusir bosan.
Tapi sampai pukul 12 malam, Yoongi tak juga datang. Seungwan telah mengirim tiga pesan ke ponsel Yoongi, tapi Yoongi tak juga membukanya. Seungwan akhirnya tertidur di sofa sampai menjelang pagi.
Ketika Seungwan bangun pukul 5 pagi, Seungwan belum menemukan Yoongi dimanapun.
Kendati begitu, Seungwan tetap melakukan apa yang menurutnya menjadi tugasnya. Menyiapkan sarapan, menyiapkan perlengkapan Yoongi, membersihkan kamar tidur. Berharap Yoongi bisa muncul kapan saja, di ambang pintu, kelelahan setelah semalaman tidak tidur untuk lembur. Seungwan pikir semangkuk sup daging segar bisa menjadi sambutan yang baik, juga kamar tidur yang rapi untuk Yoongi istirahat nantinya.
Tapi Yoongi tak datang.
Sampai sup daging buatan Seungwan mendingin. Sampai Seungwan harus berangkat ke kantornya. Bahkan sampai berhari-hari kemudian. Yoongi tak pulang.
Bukannya Seungwan tak berusaha. Perempuan itu sudah berkali-kali mengirim pesan pada Yoongi, menanyakan dimana keberadaannya, menelponnya, namun tak pernah ada jawaban. Seungwan jadi sedih, merasa semua ini karena ulahnya.
Seungwan jadi membentuk kebiasaan baru: menengok melihat pintu dapur setiap satu jam sekali, berharap Yoongi muncul. Seungwan juga menjadi lebih uring-uringan, selera makannya menurun, membuatnya terpaksa membuang sisa makanan dua porsi yang telah ia siapkan untuknya dan Yoongi. Dering notifikasi ponselnya disetting dengan volume maksimal; Seungwan takut Yoongi membalas pesannya dan ia melewatkannya. Tapi nyatanya, pesan itu tak muncul sama sekali. Hanya dering alarm pagi hari yang selalu berbunyi. 
Ketika akhir pekan, lima hari kemudian, Yoongi akhirnya muncul. Menampakkan wajah malasnya di ambang pintu dapur. Seungwan sedang memandangi nasi goreng kimchi buatannya—melamun, merindukan sosok suaminya. Handuk masih membalut rambutnya dengan asal dan piyama kebesaran masih menempel di tubuhnya.
Seungwan baru tersadar dari lamunannya ketika Yoongi membuat suara dengan melempar sepatunya ke lantai dapur—sepatu yang berbeda sejak lima hari yang lalu.
Seungwan terlonjak, ia buru-buru berdiri, melihat Yoongi yang berjalan melewati dapur di depan matanya. Dadanya bergemuruh. Oke, Seungwan sangat merindukannya.
“Good morning.” Kata Seungwan agak gugup, ia berjalan mengikuti Yoongi yang hendak masuk ke kamar. Yoongi mengabaikan sapaan Seungwan, ia terus bejalan kearah tempat tidur, melepas dasinya, kemudian melemparnya dengan asal.
“Jangan ganggu aku.” Kata Yoongi singkat, kemudian ia menubrukkan dirinya ke Kasur, menenggelamkan wajahnya di bantal.
Seungwan memberenggut, ia memperhatikan Yoongi dari dekat, baru menyadari gurat kelelahan yang tampak jelas di wajah Yoongi. Yoongi bahkan tidak sempat melepas kaus kakinya, tasnya tergeletak sembarangan dan dasinya terlempar entah kemana.
“Seharusnya kau mandi dulu.” Kata Seungwan khawatir. Ia berjalan mendekati tas Yoongi yang teronggok di dekat lemari, menaruhnya di meja di ruangan kerja Yoongi. Ia masuk lagi ke kamar, dan melihat Yoongi belum bergerak dari tempatnya.
“Apa perlu kusiapkan air untuk mandi?” tanya Seungwan lembut, menepuk bahu Yoongi.
“Tidak perlu.” Kata Yoongi menepis tangan Seungwan. Ia terduduk kemudian, dengan matanya yang masih mengantuk, ia meraih sebuah amplop dari sakunya, kemudian memberikannya pada Seungwan.
Seungwan melihatnya dengan bertanya-tanya, dibukanya amplop itu. Ternyata isinya adalah surat pemindahan tugas—Seungwan menjadi was-was. Ia membaca dengan teliti isi surat itu—
Ternyata Seungwan sendiri yang dipindah tugaskan. Oleh ayah mertuanya sendiri. Ke anak perusahaan keluarga Min yang dikelola oleh Min Yoongi. Seungwan sepertinya lupa kalau bosnya punya hubungan bisnis yang baik dengan keluarga Min.
Entah itu sebuah keberuntungan atau kesialan.
Seungwan memberenggut. Ia sudah sangat nyaman dengan posisinya juga dengan lingkungan kerjanya saat ini.
“Apakah aku bisa menolak?” tanya Seungwan kemudian.
Yoongi langsung memicingkan matanya, seolah Seungwan melontarkan pertanyaan paling bodoh sedunia—mungkin memang itu pertanyaan bodoh. Tentu saja Seungwan tidak bisa menolaknya!
Tanpa menjawab, Yoongi langsung merebahkan lagi tubuhnya di Kasur.
Mengabaikan surat itu, Seungwan langsung penasaran dengan keberadan Yoongi lima hari belakangan. "Kau tidur dimana selama ini?”
Bahkan tanpa menunjukkan wajahnya yang tertutup bantal, Seungwan tahu Yoongi langsung kesal.
Menengok kearah Seungwan, dijawabnya pertanyaan itu dengan pertanyaan lain, “Apakah aku bahkan harus menjawab itu?”
Seungwan tergagap, “Ak-aku tidak bermaksud menghakimimu, aku tidak bermaksud mencurigaimu—“
“Aku bahkan tidak keberatan kalau kau mencurigaiku.” Kata Yoongi jelas. Ia terduduk di tempatnya, melihat kearah Seungwan, “Ah, kau pasti masih ingin menjadi istri yang baik untukku, ‘kan?”
Seungwan hanya menelan salivanya, jelas tidak mau menolak pernyataan itu.
“Apa kau lupa kalau aku ingin kau melupakan ide menjijikan itu?” tanya Yoongi, tatapannya menajam.
Dahi Seungwan mengkerut, kesal sekaligus sakit hati, itu bukan ide menjijikan sama sekali. Tapi Seungwan tak berani menyangkalnya, ia meneguk salivanya dengan susah payah, “Paling tidak kau membalas pesanku—“
Yoongi langsung mendongkol. Ia berdiri dari tempatnya, membelakangi Seungwan bersiap untuk membersihkan diri, “Berhenti mengirim pesan padaku, kau menggangguku.” Katanya.
Seungwan menghela nafasnya. “Atau kau bisa memberitahuku sebelumnya, kau membuatku khawatir.”
“Kekhawatiranmu bukanlah urusanku, ‘kan?” tanya Yoongi. Ia mengabaikan Seungwan, hendak pergi ke kamar mandi.
“Aku membuatkanmu nasi goreng kimchi—“
Yoongi mendengus, ia melihat kearah Seungwan, senyum miring terpampang jelas di wajahnya, “Aku tidak mau membuang-buang waktuku untuk membuang semua itu ke tempat sampah, Son.”
.
.

Senin pagi tiba dengan sangat cepat: Seungwan melewatkan jadwal memasak dan menyiapkan perlengkapan Yoongi karena Seungwan harus berangkat lebih pagi untuk menemui Rose. Seungwan sudah mengontak Rose tadi malam, setelah Yoongi melemparkan secarik kertas berisi nomor Rose untuk dihubungi.
Yoongi sudah berangkat pagi-pagi sekali tanpa Seungwan sadari. Seungwan berangkat pukul 7 pagi dengan mobil Kona Electricnya. Perjalanan memakan waktu dua puluh menit dan sekarang Seungwa sudah siap. Pakaiannya rapi, ia menggunakkan kemeja berwarna biru langit, blazer hitan dan rok pendek dengan warna senada. Stiletto tinggi hitam membalut kaki cantiknya. Dua menit penuh Sengwan mengagumi kestrategisan gedung ini dibangun, bukan area yang sangat padat dengan berbagai manusia yang lalu lalang seperti gedung milik Junmyeon, gedung ini menyisakan banyak ruang terbuka untuk taman serta mereka tidak menggunakan parkir basement, tempat parkir ada tepat di utara gedung, tempat udara terbuka sehingga siapapun bahkan akan betah hanya untuk duduk di mobil mereka sambil melihat langit luas.
Seungwan kemudian tersadar dari kekagumannya, ia menengok ke kaca sekali lagi, memastikan gelungan rambutnya rapi. Mengecapkan bibirnya yang dipoles dengan warna merah maroon, warna kesukaan lipstiknya untuk ke kantor. Orang lain menganggap itu sepele tapi bagi Seungwan itu penting. Warna merah yang berani membuatnya terlihat lebih percaya diri, sebagai wanita karir yang juga punya kedudukan yang sama dengan para pria. Warna merah membuat Seungwan lebih kuat dan membuatnya terlihat lebih cerdas. Seungwan menyukai kesan orang melihatnya pada pandangan pertama. Seungwan tak menyombong tapi memang begitulah Seungwan, percaya diri, cerdas, cekatan dan hal-hal bagus lainnya yang menunjang dirinya sebagai seorang wanita karir.
Seungwan berjalan dengan percaya diri ke lobi utama, mengetukkan stiletto hitamnya ke lantai, tersenyum pada siapapun yang ditemuinya. Ia kemudian melihat sesosok perempuan yang duduk di sofa di dekat lift, perempuan itu menyadari keberadaan Seungwan kemudian ia tersenyum ramah, melambaikan tangannya kearah Seungwan.
“Hai Wendy!”
Seungwan tersenyum cerah. Menyukai cara Rose memanggilnya. Seungwan yang memintanya saat mereka bertukar pesan semalam. Seungwan menyukai nama aslinya, Son Seungwan. Tapi ia lebih menyukai nama Wendy sebagai namanya dalam urusan pekerjaannya. Rasanya seperti ia menjadi seseorang yang berbeda dengan nama itu. Wendy yang percaya diri, cerdas, cekatan dan rajin. Disegani orang-orang karena proyek-proyeknya, disukai semua orang karena sifat keramahannya, serta diandalkan oleh atasannya karena kecerdasannya.
“Rose?” kata Seungwan berjalan mendekati perempuan itu.
Rose mengangguk. Berdiri menjulang di hadapan Seungwan. Rambut Rose berwarna pirang, wajahnya agak kekanakan dan dia punya senyum yang hangat. Seungwan langsung menyimpulkan bahwa Rose adalah orang yang menyenangkan.
Mereka berdua berjabat tangan dengan resmi. Layaknya dua kolega sedang menandatangani kontrak sangat penting. Kedua perempuan dengan perbedaan tinggi yang mencolok itu kemudian memasuki lift, naik menuju lantai tujuh belas.
Rose dan Seungwan berkeliling di lantai itu, Rose menunjukkan ruang kerja Seungwan, ada di sebelah barat bagian gedung, ruangan luar biasa luas itu diisi kurang lebih lima belas orang. Kemudian ada ruang istirahat di sudut bagian gedung, toilet, tempat istirahat dan gudang penyimpanan. Ruang rapat ada di lantai dua puluh dan Rose menunjukkan rooftop gedung itu. Terdapat taman kecil disana dan cukup membuat Seungwan terpana. Designnya minimalis, ada air mancur mini dan kursi duduk, Seungwan pikir ia betah duduk berlama lama di sana sembari membaca buku.
Keduanya kembali ke lantai tujuh belas, sementara Seungwan menaruh beberapa barangnya di meja, Rose masuk ke ruangan di bagian paling depan gedung, membuka pintu luar biasa besar itu dan menunjukkan ruangan luas dengan meja kerja dan beberapa perangkat elektroniknya. Sangat rapi.
Rose kembali ke tempat Seungwan, ia berkata padanya, “Wendy, aku ingin menunjukkan ruang kerja boss.”
Kemudian Seungwan merasa antusias. Ia mengangguk kemudian mengekor di belakang Rose, menuju ruang besar yang baru saja Rose buka.
“Beruntung sekali boss tidak ada. Kalau ada kau mungkin tak pernah bisa mendapatkan kesempatan untuk masuk kesini.” Ujar Rose.
“Benarkah?” tanya Seungwan. ia menutup pintu besar di belakangnya dan sekali lagi mengagumi ruang kerja milik Yoongi. Sangat rapi dan nyaman, ada sofa-sofa besar di sebelah meja kerja, lemari buku besar di dinding, proyektor menggantung di langit-langit dan speaker besar di kedua sudut ruangan. Ruangan itu terkesan hangat karena sinar matahari langsung menembus melalui kaca transparan di hadapan mereka—menunjukkan jalan raya dan orang-orang dengan kesibukannya.
“Dia tidak mau siapapun masuk sembarangan ke ruangannya.” Kata Rose. “Aku mengijinkanmu masuk karena kau adalah istrinya—jadi kupikir, itu akan baik-baik saja.”
Seungwan hanya mengangguk, kemudian bertanya dalam hati apakah Rose adalah tangan kanan Yoongi yang mengetahui segalanya tentang Yoongi atau—
“Ouch. Apakah boss sudah memberitahumu? Aku sekertaris pribadinya, ngomong-ngomong.”
Seungwan membulatkan mulutnya, mengangguk mengerti. Selama Rose mengoceh tentang betapa Min Seokjin kesulitan mencari sekretaris untuk Yoongi, mata Seungwan menangkap sebuah pintu kecil yang nampaknya sengaja disembunyikan. Separuh bagiannya tertutup lemari buku luar biasa tinggi. Kemudian Seungwan mendekati pintu itu.
“Wendy, mau kemana kau—ouch. Itu ruang pribadi boss.” Ujar Rose kemudian. Ia berjalan ke sisi lemari, menyeret lemari besar itu dengan mudah, memperlihatkan pintu kecil itu seutuhnya.
“Ruang pribadi?”
Rose mengangguk. Ia menyentuh pegangan pintu, berhenti karena merasa ragu. “Kurasa tidak apa-apa kalau aku membawamu masuk, karena kau istri boss. Bukankah begitu?” kata Rose kemudian, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang bertanya pada Seungwan. Ia kemudian mendorong pintu itu masuk.
Sangat kontras dengan ruang kerja Yoongi, ruang pribadinya mirip seperti kapal pecah. Sinar matahari masih sama menembus masuk menerangi ruangan itu namun tidak dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Bungkus makanan, gumpalan-gumpalan kertas tak terpakai, pena-pena mahal dan tintanya yang menyembur keluar.
Seungwan tanpa sadar menghela nafasnya. Ia berjalan mendekati tempat tidur berukuran Queen Size di sudut ruangan, meraih selimut besar yang kusut tak terlipat, kemudian dengan hati-hati melipatnya.
Rose memperhatikan Seungwan, ia berkata, “Dia selalu seperti ini setiap kali ada disini.” Kata Rose.
“Apa dia sering menginap disini?” Tanya Seungwan, mulai memunguti gumpalan kertas tak terpakai di sekitar tempat tidur.
“Yah, jika diperlukan.” Rose mengedikkan bahu. “Dia bisa menginap berhari-hari untuk lembur. Dia sangat mencintai pekerjaannya, kau tahu ‘kan?”
Seungwan mengangguk. Ia melihat dasi berserakan di lantai, sepatu dan kaus kaki yang tergeletak sembarangan dan tas kerjanya yang kira-kira berjumlah lima menganga terbuka di lima tempat yang berbeda, di kursi makan, di sudut kamar, di atas sofa, di samping lemari dan di atas meja pantry. Seungwan teringat betapa berantakannya Yoongi tiba pagi kemarin dan meyimpulkan bahwa Yoongi menginap selama lima hari ini disini.
Kemudian Seungwan memperhatikan ruangan itu lebih teliti. TV layar datar yang menyala di hadapannya, pantry yang berantakan, cucian yang menumpuk di washtafle, botol-botol bekas di meja pantry, tempat sampah yang penuh dengan cup ramyun. Seungwan yakin benar kalau Yoongi hidup dengan tidak sehat di ruangan ini. Seungwan membuka lemari es dan bahkan tidak menemukan satupun botol air minum, lemari penyimpanan makanan hanya terisi dua cup ramyun dan kaleng-kaleng soda tergeletak di samping kompor.
Seungwan berdecak.
“Dia memang seperti itu.” kata Rose melihat Seungwan. “Tidak mempedulikan dirinya sendiri ketika menyangkut semua pekerjaannya. Lidahnya sangat sensitive dan ia punya banyak alergi. Dia tak bisa makan semua makanan yang dibuat orang lain. Cup ramyun bukan salah satu alerginya maka ia hanya bisa makan itu.”
Seungwan menghela nafasnya. Kesal dengan kenyataan bahwa Yoongi bisa saja mengonsumsi makanan itu selama lima hari berturut-turut disini, melihat tumpukan sampah di dekat kompor, penuh dengan cup ramyun dan cola. Seungwan menangkap sarung tangan karet di sampingnya, menyalakan kran air, ia memakai sarung tangan itu.
Rose memperhatikan Seungwan lagi. “Kau tidak harus melakukan itu Wendy.” Katanya.
“Tidak apa-apa Rose. Ini bukan masalah besar.” Kata Seungwan.
“Tapi itu membuatnya mengetahui bahwa seseorang masuk ke sini Wendy.” Kata Rose. “Aku belum bilang padanya kalau aku mengajakmu masuk kesini—euh, tapi, kau ‘kan istrinya!” kata Rose pada diri sendiri.
“Iya aku istrinya.” Jawab Seungwan singkat.  Tak peduli kalau ia memang tak diijinkan masuk kesini, yang jelas tempat ini harus dibereskan.
Rose mengiyakan, ia menghembuskan nafasnnya dan duduk di kursi pantry. “Aku hanya pernah masuk kesini tiga kali, selama Sepuluh bulan aku bekerja disini.” Kata Rose. Ia melihat ke catatan kecilnya dan melanjutkan ceritanya, “Pertama saat boss tidak pulang selama sebulan dan Min Seokjin mendobrak pintu ruangan ini hanya untuk menyeretnya pulang dari kegilaan pekerjaannya. Kedua saat aku mencarinya dimanapun dan tak dapat menemukannya. Aku menemukannya tak sadarkan diri di lantai di dekat pantry ini.”
Seungwan mengatai Yoongi bodoh dalam hati. Jika Yoongi hidup seperti ini sepanjang tahun maka dia akan mati di akhir tahunnya. Seungwan mulai memunguti sampah-sampai di meja pantry, mengambil kantong plastik besar kemudian mengumpulkannya disitu. Rose melihat Seungwan lagi.
“Kau sungguh tak harus melakukan itu Wendy.” Kata Rose. “Aku bukan takut boss akan marah tapi ini bahkan masih pagi. Make-upmu masih menempel sempurna dan kemeja cantikmu bisa kotor terkena air. Ini hari pertamamu bekerja dan—“
“Aku baik-baik saja Rose.” Kata Seungwan tersenyum di akhir kalimatnya. Sama sekali tak peduli dengan apa yang dikatakan Rose tentang dirinya, ia memutuskan untuk kembali ke topik tentang Yoongi. Mungkin memang hanya nama Yoongi yang mengisi kepalanya. “Apa dia sama sekali tak pernah makan di luar—“
“Jika Min Seokjin menyeretnya keluar dari sini, Ya.” Kata Rose menghela nafasnya, agak merasa kasihan dengan fakta itu. “Atau terkadang Nyonya Min mampir kesini dan mengirim box-box penuh makanan. Tapi kau tahu kan, Nyonya Min hampir sama sibuknya dengan boss—“
Selama Rose mengoceh tentang kesibukan Nyonya Min dengan bisnisnya sendiri, menemani suaminya dari negara satu ke negara lainnya, muncul ide menarik di otak cantik Seungwan.
“Rose—“ kata Seungwan menghentikan kalimat Rose. Ia berpikir sebentar, memutuskan untuk menuarakan idenya barusan.
“Apa kau pikir tidak apa-apa jika aku masuk menyelinap kesini untuk mengirimkan box makanan kepadanya?”
Rose agak terkejut dengan perkataan Seungwan, berpikir itu ide sangat gila, atau mungkin terlalu berani. Ia membuka mulutnya, “Eh, kupikir itu ide yang tidak baik.” Kata Rose jujur.
“Kenapa???”
“Diat tidak akan menyukai siapapun masuk kesini, apalagi menyelinap ke dalam sini.” Kata Rose sangsi. Ia berpikir sebentar, kemudian mengoceh tentang bagaimana Yoongi mengamuk ketika seorang cleaning Service yang Rose kirim akhirnya dipecat oleh Yoongi, yang sebenarnya tak benar-benar Seungwna dengarkan.
Tapi kemudian  Rose menepuk dahinya sendiri. “Euh, tapi kau ‘kan istrinya!” Rose berseru. Tampak membodohi diri sendiri. “Aku bodoh sekali! Maafkan aku Wendy. Rasanya masih aneh kalau boss sekarang sudah punya istri.” Rose meringis.
Seungwan hanya menggeleng sambil berdecak. Memang sangat aneh.
Rose lalu melanjutkan. “Bukankan itu akan baik-baik saja kalau kau istrinya?”
Seungwan kemudian tersenyum. Tidak akan ada masalah karena Seungwan adalah istrinya.
.
.
.
Tbc.
.
.
Heyy thankyou so much yang sudah nungguin book ini dengan sabar. Authornya lagi super sibuk jadi baru bisa selesein chapter ini. Chapter ini bener bener ngebut ngeditnya jadi maafkan kalo ada kalimat yang aneh atau kata kata yang nggak sesuai 😭😭
Aihh I LOVE YOU 3000 (ALL) 💜💙💛❤💚😭😭😭

Ten Million DollarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang