Prolog

12.1K 435 41
                                    

Namaku Kit, umur 13 yang duduk di bangku menengah pertama tingkat dua. Tak ada yang spesial tentangku selain anak yang dibesarkan oleh dua pria dengan segala kasih sayangnya.

Awalnya, aku hanya anak cengeng yang terus menangis menunggu ibu—yang nyatanya membuangku—di beranda panti asuhan. Aku muram, duduk di sudut ruangan dengan segala pemikiran. Usiaku 6 tahun kala itu, ketika Papi Krist dan Daddy Singto datang menorehkan senyum padaku yang murung.

Tangannya hangat, Papi Krist memegang bahuku lalu mengelusnya lembut, sedangkan Daddy Singto menanyakan namaku dengan suara khasnya yang menurutku lucu.

“Kit,” jawabku gemetar.

Karena selama ini tidak ada sesiapapun yang sudi mendekatiku. Banyak calon orangtua datang dan pergi memilih anak paling ceria dan terlihat sehat. Tidak sepertiku, yang menghabiskan hari dengan sesekali terbatuk di sudut panti.

“Hai Kit. Aku Krist dan ini Singto, salam kenal.” Papi Krist memperkenalkan diri sekaligus Daddy Singto.

Aku hanya diam memandang keduanya dengan kening menyerit—bingung. Sejenak, mereka bersipandang lalu kembali menatapku sembari tersenyum.

“Kau bisa panggil aku Papi Krist—”

“Dan aku Daddy Singto,” susul daddy.

Saat itu aku hanya anak dungu yang tak tahu apa-apa hingga umurku delapan lalu mengerti apa yang sedang terjadi.

“Asal kamu tahu. Sebenarnya hubungan kami ini tidak benar. Jadi, kamu tidak boleh menirunya. Ketika dewasa kelak, carilah wanita baik-baik, menikah lalu bangun keluarga yang baik pula,” nasehat Papi suatu hari ketika kami hanya duduk berdua.

Aku menggeleng tegas, menepis semua perkataan Papi Krist kali ini. “Pap, aku tidak perduli dengan hubungan kalian. Yang kutahu, kalian adalah dua malaikat yang Tuhan turunkan sebagai hadiahku. Menututku, kalianlah orangtua yang sebenar. Kasih sayang yang kalian berikan lebih banyak dari orangtua manapun.”

Papi Krist tersenyum, kemudian memelukku terharu.

Itu hanya sebagian kecil dari kebaikan mereka. Jika aku sebutkan semuanya tidak akan cukup berlembar-lembar kertas untuk mencoretkan tinta semua hal yang aku suka tentangnya.

Seperti belanja. Setiap akhir pekan kami sering belanja bersama, dan setiap akhir pekan pula, papi dan daddy akan berdebat hanya karena beda selera.

Kalau papi memasukan sayuran dalam trolly, maka daddy akan memasukan daging ayam atau ikan tuna. Kalau papi memasukan bumbu dapur, maka daddy masukan makanan ringan.

Terus begitu hingga trolly kami penuh membuat pegawai kasir kewalahan sendiri menghitungnya. Lalu, jangan salahkan papi sesudah itu daddy harus mengeluarkan uang yang cukup tebal karena kejahilannya.

“Jangan tertawa,” daddy menegurku ketika di meja makan.

Pasalnya, papi yang marah tidak menyiapkan makan malam untuk daddy. Sementara aku dan papi makan steak terlezat yang pernah kurasa, daddy harus sanggup cuma makan camilan dan minuman soda.

“Itu salah daddy sendiri kenapa menggoda papi,” kekehku.


***

Hai ❤❤❤
Kembali bertemu dengan saya 😘😘

Btw, ini bukan cerita yang isinya cinta-cintaan doang ye. Sebenernya lebih condong ke anak yang hidup dengan pasangan gay.

Saya cuma mau berpesan. Gay itu tidak menular, mau seberapa dekat pun kamu dengan seseorang yang gay, kalau kamu dasarnya bukan gay maka tidak akan pernah menjadi gay.

Udah baca yang EX belum? Rencananya ini kemaren mau dijadikan sequel EX itu. Tapi kayanya kurang greget ye karena beda haluan.

Eh, bodo amat deh. Tapi semua tokohnya tetep sama dengan cerita EX. Ada Ohm, ada si ego tinggi Pen dan mungkin juga ada Pie (jangan hujat wahai nitizen, Pie udah tobat 😂😂)

Salam manis,
Dky_L

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang