8. Me

2.1K 215 17
                                    

Aku biasa menyendiri, menenangkan hati di atas atap ini. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini kata menyendiri yang aku maksud tak lagi sama. Terasa nyeri dan sesak di dada saat kau sadar bahwa dirimu benar-benar menyendiri bukan karena kebutuhanmu tetapi orang-orang yang ada di sekitarmu sebelumnya yang telah meninggalkanmu.

Oat yang katanya teman memilih pergi karena cinta yang ia berikan kutolak karena aku bukan gay. Beberapa hari lalu aku mendengar kabar burung Oat sedang dekat dengan seorang pria satu angkatan tetapi beda kelas. Dan Emma memilih berbagi senyum dengan pria lain yang terlihat lebih menarik.

Aku bahkan ragu, senyum yang selama ini kutahu mungkin saja memang sebenarnya tidak pernah ditunjukan untukku. Bisa jadi dia bersamaku tetapi jiwanya melalang buana pada sosok lain yang membentuk lengkungan pelangi terbalik di bibirnya. Dan selamat, sekarang dia sudah bisa bersama dengan yang dimaksud, baik raga maupun jiwa.

Aku berdecih lirih saat manikku mendapati  milk ice pink bertengger di sebelahku. Aku bingung sendiri kenapa aku bisa memesan minuman ini sewaktu di kantin tadi. Padahal, aku sudah memantapkan diri untuk membenci segala sesuatu yang menyangkut rasa strrawberry dan warnanya.

Tetapi nyatanya, move on tidak semudah yang mereka bilang. Bahkan untukku yang sudah kalah sebelum berjuang move on tetap tidak memberi pengecualian.

Aku menghela napas pelan lalu memutuskan beranjak dari atap yang sudah mengunci banyak kenangan. Mungkin saja sudah nasib, nyatanya ada saja yang membuat bertemu dengan orang yang ingin dihindari.

Di depanku, tepatnya di bangku semen depan kelasnya, Emma sedang bermesraan layaknya anak berumur tujuh belas. Dengan beraninya Cup mengelus punggung tangan Emma bahkan sesekali mengacak pucuk kepalanya mengabaikan tatapan aneh anak-anak lain yang masih belum mengerti dengan hubungan seperti ini. Masih SMP seharuanya diisi dengan belajar bukan pacaran seperti sudah dewasa saja.

Aku berusaha acuh, pura-pura tak lihat atau mungkin pura-pura tak kenal. Hatiku memanas, tapi kebenarannya aku tiada berhak atas dasar apapun. Emma tak melirikku, dia terlalu sibuk dengan berbagai bualan pria tersohor penjuru sekolah itu.

“Kit, Mister Bot memanggilmu. Kau disuruh datang ke ruangannya.” Teman sekelasku yang barusan berpapasan menyampaikan perintah wali kelas.

Aku berdecak, sebenarnya apa yang perjaka tua itu mau. Setelah aku berhenti membuat onar pun dia tetap tertarik padaku.

“Oke,” jawabku pendek.

Dengan malas aku menyeret langkahku menuju ruangannya. Pria itu terlihat berkutak pada buku tebal ketika aku tiba di hadapannya.

“Bapak memanggil saya?” tanyaku sesopan mungkin.

“Ya. Duduklah,” ucapnya cepat lalu menyingkirkan buku yang sedang ia baca tadi.

Sesaat, kami hanya berdiam-diaman tak tahu bagaimana memulai sebuah percakapan agar tak terasa canggung.

“Kalau bapak tidak jadi berbicara sebaiknya saya kembali ke kelas sekarang karena sebentar lagi jam istirahat usai,” ingatku datar.

Mister Bot membenarkan posisi duduknya lebih tegap. Kedua tangannya terlipat rapi di meja seakan sedang berbicara dengan orang penting.

“Begini, kami sudah putuskan mulai besok kau akan menjalani konsultasi dengan Pak Natapon,” terangnya kemudian.

“Untuk apa? Saya tidak merasa membutuhkannya,” sangkalku.

Tatapan Mister Bot menajam, seakan mengikat netraku agar menurut dengan ucapan berikutnya. “Melihat tingkahmu akhir-akhir ini kami merasa kau perlu pembimbingan lebih masalah psikis. Seperti yang kau tahu, hidup diantara dua ayah bukan perkara mudah.”

Daddy's [TAMAT]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu