1. Donatur Yang Menyebalkan

7K 342 39
                                    

Biologi, pelajaran ketiga. Kelas riuh, panas matahari yang menguap seakan tak terasa lagi ketika Mister Bot membahas tentang materi reproduksi manusia. Jelas saja bukan pembelajarannya yang memicu riuh satu kelas. Tetapi alat reproduksi pria yang tergantung jelas di papan tulis sorotan dari mesin on fokus di atas meja.

Suara teriakan siswa pria semakin menjadi ketika gambar vagina menggantikan gambar monoton sebelumnya. Mister Bot menghela napas, sudah beberapa kali menegur agar lebih tenang.

Penjelasannya yang panjang lebar tak didengarkan—hanya beberapa—selebihnya sibuk dengan tampilan lubang yang hanya dimiliki wanita itu.

“Pak ...!” seru Max mengangkat tangannya. Menghentikan kekacauan sesaat dan menarik segala perhatian siswa. “Bagaimana sesama lelaki melakukan hubungan intim. Jelas saja mereka tak punya apa yang anda jelaskan saat ini.”

Entah serius atau hanya bercanda, tetapi pertanyaan bodoh itu benar-benar meluncur begitu saja dari bibir hitamnya yang langsung mengundang gelak tawa hampir seisi kelas—sebagian siswa memilih diam, menggerutu tidak jelas atas keisengannya.

Aku memutar bola mata malas, pertanyaan konyol itu sama sekali tak mengesankan. Aku tahu, dia tidak benar-benar bertanya karena sempat kulihat ujung matanya melirik kearahku—meremehkan.

“Kenapa kau tidak tanya saja pada Kit? Bukannya orangtua dia semuanya lelaki,” susul Kiet, teman sebangku Max sekaligus satu alesiansinya.

Aku berdecih, satu kelas sudah menertawakanku. Tidak! Aku tidak akan membiarkan mereka terus melakukan itu jadi aku membalasnya dengan tatapan tajam langsung dalam manik keabu-abuan Max.

Well, kenapa tidak kau coba saja menggunakan mulut besarmu itu. Aku yakin bibir tebalmu itu cukup untuk membuat seseorang eraksi,” jawabku frontal bersamaan dengan kelas yang kembali hening sejenak lalu riuh selepasnya saling sorak.

“Kit, sebaiknya kau jaga ucapanmu,” tegur Mister Bot.

“Pak. Anda harus menegur mereka juga, bukankah itu termasuk tindakan asusila? Mengejek.”

“Datang ke ruangan Bapak setelah ini,” ucapnya tegas beriring bel istirahat kedua bergema.

“Kau seharusnya bisa menahan diri, Kit,” lirih Oat. Sahabat sekaligus teman semejaku.

Sebenarnya kami tidak terlalu dekat, hanya sesekali bersama kalau sedang makan atau mengerjakan tugas tapi katanya dia tetap ingin disebut sahabat daripada teman biasa.

Aku menghela napas, menanti Mister Bot yang tengah berbincang dengan gebetannya. Miss. Lian, guru bahasa Inggris.

“Kurasa kau tahu apa kesalahanmu, kan? Ini sudah yang kesekian kalinya aku menegur. Kau harus bisa menjaga emosimu, Kit. Kita sama-sama tahu kalau—”

“Kalau ayah Max adalah donatur terbesar dan paling berpengaruh bagi sekolah ini,” potongku melanjutkan penjelasannya. “Bukan karena dia anak donatur paling berpengaruh lalu bisa menghina orangtua saya sesuka hati, Pak. Saya masih punya perasaan, dan tak akan membiarkan siapapun merendahkan orangtua saya,” tegasku.

Mister Bot terlihat terkejut dengan penjelasanku. Dari sekian banyak pertemuan, baru kali ini aku berbicara sangat panjang. Kalau biasanya aku hanya mengangguk dan menggeleng, kali ini aku harus sedikit menghentak agar tidak ada lagi orang yang semena-mena dengan hubungan orangtuaku. Mereka sesama pria, lalu apa yang salah dengan itu?

“Yah, kurasa kau tahu kalau ... Same sex itu sedikit ‘aneh’ dikalangan kita,” bilangnya dengan gaya kedua tangan mengutip diudara menekankan satu kata yang membuatku sedikit kesal.

“Kita bukan hidup dizaman purba, Pak. Seharusnya anda lebih bisa menerima perbedaan sosial. Toh, orangtua saya juga tidak merepotkan anda. Saya tumbuh dan besar dengan jernih payah mereka. Bahkan saya lebih bersukur daripada memiliki ibu yang tega mebuang anaknya.”

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now