12. Give Me Your Hand

2K 203 24
                                    

Seperti yang kuduga. Berita di sekolah sudah sampai di telinga papi dan daddy. Bukan Mister Bot yang menyampaikannya kali ini melainkan Kepala Sekolah yang memang kebelet aku keluar dari sekolah itu daripada anak emasnya tersakiti.

Malamnya, aku didudukkan tepat di hadapan mereka berdua. Kepalaku menunduk, kedua tanganku sibuk memainkan ujung baju yang aku kenakan sementara kakiku menggosok-gosok lantai canggung.

“Kamu bisa jelaskan, Kit? Ini bukan kenakalan biasa lagi. Setelah hidungnya patah, sekarang kamu membuatnya ompong. Kepala sekolah sudah cerita semuanya, katanya kamu yang menyerang tanpa alasan yang jelas,” beber papi dengan intonasi rendah tapi terasa menusuk.

Lengang, aku tidak langsung menjawab. Otakku masih sibuk memilah-milah kata mana yang kiranya lebih cocok aku gunakan sebagai alasan. Jelas saja dia berdusta. Aku tidak akan menyerang kalau tidak ada pancingan.

“Aku tidak suka Max,” kataku hati-hati tanpa menatap mereka.

“Hanya karena itu kau memukulnya?!”

Aku menggeleng. Setelah mengembuskan napas pelan aku memberanikan diri mendongak. Menatap manik kecokelatan papi yang kecewa. “Karena dia merendahkan kalian. Dan aku tidak suka itu.”

Papi dan daddy tukar pandang sedikit lama. Tak ada diantara keduanya yang langsung menanggapi pengakuanku barusan.

“Aku tidak suka kalau ada orang yang merendahkan hubungan kalian, Dad,” lirihku memecah hening. “Aku menyayangi kalian. Aku ingin membela kalian seperti kalian melindungiku.”

“Tapi tetap saja itu keteraluan. Kau membuat dirimu sendiri dalam baaya, Kit,” celetuk papi.

“Aku tidak perduli,” jawabku cepat. “Selama mereka bisa menghormati perbedaan ini. Mereka tidak punya hak untuk menghakimi, apapun alasannya.”

Ruangan kembali hening. Terlalu banyak yang terpikirkan hingga bingung yang mana lebih dulu untuk disampaikan.

“Kit.” Panggil daddy lembut. “Tidurlah, sudah malam. Besok kau harus sekolah.” Putusnya.

Aku tidak menjawab, tetapi menurut. Bangkit lalu beranjak dari ruang keluarga.
Kemudian, langkahku terhenti. Aku menoleh pada mereka lalu berkata, “Aku tidak akan membiarkan siapapun merendahkan kalian. Akan kubuktikan pada mereka kalau kalian dua ayahku yang terbaik.”

Setelah mengucapkan itu, aku kembali melangkah ke kamar.

Paginya, aku pergi dari rumah lebih awal sebelum mereka bangun dengan meninggalkan catatan kecil di pintu kulkas; jangan khawatir kata orang, Pi, Dad. Berbahagialah. Tulisku.

Aku tiba di sekolah seperti jam biasanya. Tadi, aku tidak langsung ke sekolah, beberapa kali berhenti di jalan hanya sekadar mencoba lebih menikmati hidup. Hiruk-pikuk kota terasa ramai, tangis, tawa bahkan marah yang terdengar menyatu bak melodi.

Pengunguman besar tertempel di mading. Tentang aku yang akan segera diselenggarakan rapat kedisiplinan untuk memutuskan hukuman.

Entah kenapa, semakin hari aku merasa hidup kian berat saja. Papi, Emma, Oat lalu hukuman ini. Aku mengembuskan napas berat perlahan berharap sesak di dada berangsur hilang.

Di kelas, sesekali aku melirik Oat. Tetapi pria itu tampaknya sudah nyaman dengan teman barunya. Sekarang, aku benar-benar kesepian.

Begitu bel istirahat berbunyi, aku buru-buru beranjak dari kelas dan menghampiri Mister Bot sesuai janji kami.

“Kit, masuklah,” ucapnya langsung mendapati aku berdiri di bawah bingkai pintu.

Aku duduk dengan kepala menunduk. Rasanya, susah sekali tetap tegap disaat pundak dihujani berbagai beban kehidupan.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now