7. Not Me But You

2.1K 220 34
                                    

Kepalaku menunduk memainkan jari dengan kaki yang bergerak pelan menggosok lantai mendengarkan amukan ayahnya Max yang murka. Mister Bot duduk di sebelahnya, mengurut pelipis bingung sama seperti yang dilakukan kepala sekolah saat ini.

Sedangkan Max duduk tepat di hadapanku, sengaja dibawa sebagai bukti kekerasan yang sudah kulakukan. Hidungnya patah, pipinya memar dan matanya membengkak. Belum lagi bibirnya, sudah tebal menjadi semakin tebal.

“Lihat apa yang sudah anakmu lakukan. Seharusnya dia sudah mendekam di penjara saat ini!” bentak Mister Keng—ayahnya Max—untuk yang kesekian kali.

“Saya minta maaf, saya berjanji akan membayar seluruh biaya pengobatannya,” sesal Papi Krist dengan nada memohon.

“Ini bukan sekadar biaya pengobatan, Pak Krist. Pak Keng ini juga donatur utama sekolah”—Mister Keng langsung memasang wajah sombong ketika pengaruh dirinya bagi sekolah ikut disebut—“dan anak bapak sudah semena-mena menghajar anaknya. Lihatlah, anak macam apa yang tega menghajar teman sekelasnya sendiri sampai seperti ini,” pak kepala sekolah mendramatisir.

Ini bukan sepenuhnya kesalahanku, Max yang memulai lebih dulu. Seharusnya dia yang bersalah tak juga berhenti menghinaku padahal aku sudah geram. Lalu, hal ini terjadi dan aku yang bersalah? Yang benar saja. Kurasa ini yang mereka bilang; kekuatan dari sebuah kekuasaan. Bahkan pak tua kepala sekolah juga ikut hanyut dalam sandiwara tak berguna.

“Saya dengar anda juga menjalani hubungan sesama jenis,” sinis Mister Keng lengkap dengan senyuman miring. “Saya rasa psikis anak anda terganggu karena hubungan anda yang tak lazim ini.”

Aku melirik Papi Krist, wajahnya sudah pucat mendengar penuturan Mister Keng yang terlalu merendahkan. Aku jadi ingat perbincangan papi dan daddy, mungkin ini yang ia takutkan ketika aku dijadikan kambing hitam dari kisah cinta mereka.

Bukan papi namanya kalau langsung melawan, bahkan pembawaannya lebih kalem daripada Mister Keng yang kabarnya menyelesaikan S2-nya di luar negeri.

“Saya minta maaf.” Lagi-lagi hanya itu yang terlontar dari bibirnya. Ekspresinya datar, aku bahkan tidak dapat menebak apa yang sedang papi rasa.

Marah, kecewa atau geram. Dia terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Seperti cerita daddy, dia bahkan butuh lebih dari sekadar perjuangan untuk menyakinkan papi kalau daddy bersungguh-sungguh mencintainya.

“Seharusnya anda mengerti, pasangan gay tidak sepantasnya mengadopsi anak. Lihatlah, kalian bahkan tidak bisa merawatnya dengan benar. Alih-alih mendidiknya kalian hanya menciptakan monster bagi generasi penerus.”

Cukup! Aku tidak sehebat Papi Krist dalam urusan perasaan. Tetapi ucapannya sudah cukup membuat emosiku melonjak drastis. Lupakan umur tiga belas, intinya kita harus membenarkan apa yang sekiranya salah.

Yang tua tak selamanya benar dan yang muda tak selamanya salah. Sekarang, bahkan orang yang katanya berpendidikan tinggi hingga merantau nan jauh di sana sama sekali tidak punya etika dalam berdebat.

Aku berdiri, menarik seluruh perhatian orang di ruang kepala sekolah hari ini. Mereka boleh menghinaku, menginjakku tapi jangan sekali-kali merendahkan orangtuaku. Siapapun mereka, tetap saja pelindungku.

“Bapak tak boleh berbicara seperti itu pada papiku. Dia sudah mendidikku cukup baik. Sebaiknya ajarkan saja anak bapak cara menghargai orang lain. Kalau perlu, beri dia tambahan bibir lagi agar lebih jelas mengeja arti kesopanan dengan baik,” telakku menggebu. Bahkan aku sama sekali tidak takut menatap tajam manik cokelat Mister Keng.

“KIT!” bukan Mister Keng atau kepala sekolah yang menegurku sedikit berteriak. Mereka masih menganga karena jawabanku barusan. Tetapi papi, pria itu sudah ikut bangkit dari duduknya dengan tatapan tegas. “Masuk mobil sekarang dan tunggu papi di sana!” perintahnya.

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang