10. Reuni Yang Menyebalkan

1.9K 205 16
                                    

“Kit, kamu dari mana aja? Semalaman papi telepon tidak aktif.” Heboh papi ketika aku pulang.

Di belakangku, Paman Ohm tersenyum getir. Sebenarnya, tadi aku sudah cegah paman mengantar karena aku tahu papi akan mengintrogasi layaknya kasus kriminal.

“Kenapa Kit bisa bersamamu?” papi meluncurkan pertanyaan pembuka.

“Oh, itu ....” mata Paman Ohm bergulir tak berarah berusaha mencari alasan tepat agar tak ada pertanyaan selanjutnya. Berhubung semalam paman berbohong, aku tidak yakin dia bisa menemukan alasan yang sesuai kreteria.

“Pi, aku lapar,” celetukku berusaha mengalihkan perhatian.

“Oke. Kita makan sekarang, papi sudah masak menu kesukaanmu.”

Aku melirik Paman Ohm sekilas yang mengangkat tegak ibu jarinya memuji tindakanku barusan. Tapi, bukan papi namanya kalau menyerah begitu saja. Di tengah-tengah sarapan kami dia masih terus mengintrogasi.

“Daddy semalaman tak bisa tidur, Kit. Dia terus menelpon semua orang yang dikenalnya. Bahkan Oat juga bilang tidak tahu. Sebenarnya kau di mana semalam?”

Aku menghela napas, entah kenapa menutupi sebuah kebenaran itu terasa lebih sulit daripada menghajar seseorang. Dan alu benci ini.

Belum sempat aku atau Paman Ohm memberikan alasan lain, telepon rumah berdering nyaring. Buru-buru papi beranjak lalu segera mengangkatnya. Sesekali aku melihat papi melirik kearah kami kemudian mengangguk kecil dengan raut wajah aneh.

Biasanya, kalau sudah begini bakalan runyam urusannya.

“Memangnya kenapa kalau jujur? Bukannya itu lebih baik?!” bisik Paman Ohm selirih mungkin agar aku saja yang mendengar.

“Bahaya. Lampu merah pokoknya, papi itu suka ngamuk kalau tahu dibohongi. Mungkin trauma sama daddy yang suka nipu papi dulunya,” balasku berbisik.

Akan tetapi, tiba-tiba saja papi sudah berdehem di hadapan kami membuat aku dan paman nyaris tersedak. Pria itu berkacak pinggang seraya menajamkan sorot matanya bak elang mencari mangsa.

“Ada yang bisa jelaskan?” tanya papi dengan nada mencekam.

Aku dan paman tukar pandang sejenak, lalu saling siku karena bingung.

“Papi tidak melarang kamu menginap di tempat Ohm. Tetapi setidaknya kamu beritahu papi atau daddy. Kami khawatir, Kit.” Intonasi papi melembut. Menatap teduh diriku yang menhaduk sarapan.
“Seharusnya kamu juga bilang, Ohm. Tidak perlu berbohong,” dengkus papi kemudian.

“Aku sedang tertekan, Pi. Tapi bukan karena olokkan teman sekolah.” Jujurku sembari memberi sedikit kode. Barangkali papi peka lalu membatalkan pemaksaan kepada daddy untuk menikah lagi.

Ruang makan langsung lengang, papi tak lagi mengeluarkan suara. Ekpresinya juga tak berubah hingga aku tak bisa menduga apa yang ia rasa. Mengerti atau malah lebih gencar agar daddy menikah lagi.

Kemudian, dering ponsel papi memecahkan keheningan. Pria itu buru-buru menjawabnya lalu raut wajahnya berubah muram.

“Aku akan segera ke sana!” tegas papi mengakhiri panggilan.

Aku dan paman bergeming, menunggu papi untuk menjelaskan semuanya.

“Nenek kembali masuk rumah sakit. Singto yang menelepon,” jelasnya.

Tanpa diucapkan dua kali, kami sudah bergegas untuk menjenguk pelindungku satu-satunya yang wanita.

Yang kami lihat pertama kali daddy sedang menunggu cemas di kursi depan ruangan biasanya orang duduk sembari menanti kabar dari balik pintu berwarna biru langit itu.

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang