13. Aku, Papi dan Daddy

3.4K 216 15
                                    

Jika kau masuk rumahku, hal pertama yang kau lihat adalah figura besar tepat di atas sofa memperlihatkan senyum lebar dua pria dewasa bersama seorang anak lelaki berusia tujuh tahun yang tak kalah bahagianya.

Lalu meja kecil samping sofa yang letaknya di sudut ruangan memperlihatkan pot bunga mainan kecil bersama dua figura mini yang isinya masih aku, papi dan daddy waktu di taman bermain beberapa tahun lalu.

Aku buru-buru membuka pintu ketika dentingan bel bergema nyaring memenuhi rumah. Sore ini, kelompokku akan mengerjakan tugas dari Miss Nam. Meringkas dan membuat beberapa kesimpulan yang nantinya menjadi bahan presentasi kami.

“Yang lain mana?” tanyaku pada Oat yang datang seorang diri.

Pria itu mengangkat kedua bahunya lalu masuk setelah kubukakan pintu pagar. Melenggang santai meninggalkanku yang masih mengunci pintu pagar kembali.

Baru juga aku melangkah, teriakan seseorang yang mendekat sedikit berlari membuatku menoleh. Rice dan Ina terlihat kehabisan napas ketika sampai.

“Rumahmu susah sekali ditemukan.” Komentar Rice sembari masuk halaman bersama Ina di belakangnya.

“Serius? Padahal semua orang bilang rumahku yang paling mudah ditemukan,” kilahku.

“Kau tidak percaya? Tanya saja pada Ina bagaimana perjuangan kami menemukan rumahmu,” Rice membela diri lalu duduk di lantai menghadap meja kaca minimalist.

“Biar aku ambil minum dan camilan.” Izinku lalu beranjak. Sejenak, ekor mataku masih sempat melirik Rice dan Ina berbisik-bisik melihat foto-foto yang terpajang.

Bukannya malu, aku malah bangga. Inilah keluargaku. Hanya ada aku, papi dan daddy.

Papi sudah menata teko berisi jus jeruk dan beberapa gelas serta tiga taples camilan di atas nampan ketika aku tiba di dapur.

Thanks, Pi,” ucapku langsung menyambar nampan yang sudah disiapkan papi.

Tugas sudah mulai dikerjakan saat aku kembali. Oat dengan telitinya membuka-buku pelajaran mencari bahan yang tepat untuk rangkuman kami. Sementara Rice dan Ina, aku tidak bisa menyalahkan mereka masih terheran-heran dengan kondisi keluargaku.

“Kit, orangtuamu benar-benar lelaki semua?” tanya Rice hati-hati lalu mendapat sikutan kecil diperutnya dari Ina.

“Jangan dengarkan dia, Kit. Otaknya jatuh di jalan tadi,” kilah Ina lalu mendelik pada Rice dengan mulut bergerak-gerak memberi peringatan.

Aku terkekeh, merasa lucu melihat tingkah mereka berdua yang salah tingkah.

“Yups. Aku punya dua ayah. Kalian tahu? Aku spesial,” kataku bangga membagikan gelas yang sudah kuisi jus jeruk.

“Kukira Max membual. Ternyata dia benar.” Kali ini suara Rice terdengar lebih lantang.

“Rice.” Tegur Ina lagi yang terlihat tidak enak hati padaku. “Kau tidak perlu bertanya yang aneh-aneh. Bukankah dengan melihat foto-foto ini kau sudah tahu kebenaramnya?”

Tiba-tiba saja Rice kembali canggung. Ia menggaruk tengkuknya sembari menyengir aneh. “Maafkan aku, Kit. Aku tidak bermaksud mengejekmu,” terangnya.

Aku mengangguk. “No problem. Aku tidak merasa tersinggung sama sekali,” jawabku enteng.

“Siapapun orangtua Kit itu bukan urusan kita. Sebaiknya kerjakan bagian kalian agar tugas ini lekas selesai.” Oat menengahi. Lalu melirik sekilas padaku berusaha menenangkan.

Aku tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak perduli pada pemikiran orang-orang. Ini hidupku dan aku berhak bahagia dengan caraku tersendiri. Percayalah, mereka hanya tahu cara menjatuhkan tanpa memberi solusi bagaimana bahagia versi mereka—yang belum tentu benar bagi kita.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now