11. Masalah Besar

1.9K 202 22
                                    

Pagi itu, aku berangkat seperti biasa, berpakaian biasa dan bersikap biasa. Tetapi, entah kenapa tatapan para siswa terlihat berbeda. Sesekali aku bahkan mendapati kikikan aneh atau tatapan meremehkan mereka yang jelas ditunjukan untukku.

Aku berusaha acuh, berjalan ke kelas menghiraukan kata-kata yang semakin jelas terdengar. Langkahku berhenti ketika seorang siswa berseru lantang mengungkit tentang papi dan daddy.

“Kit, jadi itu bukan sekadar rumor? Orangtuamu benar-benar lelaki? Semua? Yang benar saja,” celetuknya lalu terbahak-bahak sambung menyambung menciptakan gema di sepanjang koridor.

Tanganku mengepal menahan geram. Bukannya malu, aku hanya tidak suka seseorang merendahkan orangtuaku. Bagaimana pun mereka, tidak ada satu orang pun yang boleh memandangnya sebelah mata.

“Aku tidak bisa membayangkan ketika mereka melakukannya lalu kau melihat. Kurasa itu sangat mengerikan.” Sambung seorang siswi yang duduk di bangku semen bersama dua orang teman perempuannya.

Aku masih acuh, memilih kembali melanjutkan langkah beriring gelak tawa puas mereka. Perlahan, aku menarik-embuskan napas membuat ruang dalam paru-paruku yang terasa sesak. Aku tidak boleh nakal, karena aku sudah berjanji pada papi tidak membuatnya susah dengan tingkahku.

Langkahku kembali berhenti tepat di depan papan mading menatap beberapa lembar kertas tertempel yang menjelaskan diriku dan kedua orangtuaku—yang semuanya lelaki—ditambah beberapa lelucon konyol yang sukses membuat emosiku membuncah.

Dari sebelah kananku, suara tawa yang khas nerasuk rungu. Max beserta beberapa rekannya tertawa lebar melihat reaksiku saat ini. Matanya menggerling menyebalkan, terlihat sangat bahagia dengan rencana yang telah disusunnya.

“Satu sama,” desisnya setelah mereda tawa.

Keningku menyerit, tidak mengerti dengan apa yang ia katakan.

“Atas panggilan Mister Bot. Ini balasanmu mempermalukanku di hadapan guru rendahan itu,” sinisnya.

“Ah ...,” desahnya. “Aku tidak menyangka keberhasilanku sememuaskan ini.”

Aku sudah mengeram, kepalan tanganku mengeras sempurna beriring ledakan tawa Max kian menjadi. Sesaat kemudian, aku melayangkan satu pukulan maksimal membuat Max langsung tersungkur. Mulutnya keluar darah beserta beberapa gigi depannya yang tanggal.

Teman-temannya terdengar mendesah, tidak, tetapi seluruh orang yang ada di koridor ikut mendesah. Terkejut dengan aksiku barusan.

Napasku tersengal, kemudian aku tertawa sumbang menirukan intonasi mereka sebelumnya.

“Ya! Orangtuaku semuanya laki-laki. Lantas, apa hak kalian merendahkan mereka? Tidak ada. Kalian hanya anak-anak pengecut yang terus bersembunyi di ketiak satu sama lain karena orang ini!” Seruku layaknya orang berpidato sembari menunjuk Max yang masih terduduk di lantai. “Apa kalian kira aku takut? Tidak sama sekali. Kalian boleh menghinaku, menhinjakku tapi jangan pernah sekali-kali menghakimi orangtuaku—”

Ucapanku terhenti. Max yang ternyata sudah bangkit membalas pukulanku.
Aku terhuyung, menumbur dinding lalu menyeka sudut bibirku yang nyeri.

Lumayan juga untuk ukuran anak manja.

Max meludah, sisa darah di mulutnya menempel di lantai. Aku tertawa sinis, melihat penampilannya yang—indah menurutku. Hidung diperban dengan gigi ompong.

“Ah, hanya segini kekuatanmu?!” aku terkekeh. Sengaja agar emosinya semakin meledak.

Max kembali menyerang. Pagi itu aku isi dengan berkelahi dengan Max sepuas hati.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now