3. Kode Alam

4K 270 26
                                    

“Kit,” panggil daddy saat aku hampir beranjak dari mobil.

Hari ini aku diantar daddy Singto. Padahal waktu di rumah aku sudah menolak mentah-mentah ide Papi Krist tapi tetap kalah telak karena papi mengancam akan memperpanjang masa hukumanku.

“Jangan bilang papi, okey,” kata daddy sembari menyodorkan beberapa lembar uang padaku.

Aku tersenyum semringah. Daddy memang tidak pernah tega melihatku dihukum. Bahkan dia pernah membantuku mencuci piring hukuman karena aku ketahuan bolos yang lagi-lagi Mister Bot melaporkannya.

“Tidak akan, Dad.” Kuraih cepat uang itu lalu kumasukan kantung. “Aku mencintaimu, daddy,” ucapku lagi penuh bujuk rayu seraya beranjak dari mobil.

Melambaikan tangan sekilas lalu berlari kecil menuju gedung sekolah.

Oat sudah menghadang di pintu masuk ketika aku tiba. Menagih janjiku untuk meminjaminya uang.

“Kembalikan besok.” Tekanku.

Oat berdecak, “Dua hari baru aku kembalikan.”

Aku menggeleng tegas. “Tidak bisa. Papi sedang memotong uang sakuku karena Mister Bot mengadu yang tidak-tidak semalam,” jelasku.

Dia memutar bola mata asal, tidak bisa berkutik lagi atas jawabanku barusan. “Oke,” ucapnya lemah.

Max baru saja datang menumbur pundakku sengaja seakan jalanan yang ia lalui tak cukup benar menampung tubuh kurusnya.

“Perhatikan tempatmu, Bung. Kau menghalangi orang yang hendak masuk kelas,” kilahnya seakan aku yang bersalah.

Menghalangi bagaimana? Sedangkan aku berdiri menghadap Oat yang bersandar di dinding sama sekali tak menghalangi pintu masuk seperti yang ia katakan. Hari masih pagi tetapi Max sudah mencoba memancing emosiku.

Oat menahan dadaku saat aku mulai beranjak untuk mendekat pada Max yang terkekeh seakan ada yang lucu dari ucapannya.

“Ayolah. Kalian terlihat serasi sekali, tinggal menunggu lulus sepertinya rumah tangga kalian bisa berjalan lancar. Seperti para ayahmu,” tekannya pada kalimat terakhir.

Rahangku mengeras, kepalan tangan sudah siap sedia melayang memberikan sedikit pelajaran. Kalau saja Oat tidak kembali mencegahku, sudah kupastikan kelas sedang ramai-ramainya saat ini.

“Ingat papimu, Kit. Jangan rendahkan mereka karena melayani mulut lebarnya itu,” ingat Oat.

Aku mendengkus lalu beranjak dari depan kelas sebelum seluruh kesabaranku habis. Samar-samar aku masih bisa mendengar Max beserta pengikutnya tertawa keras atas kemenangan kali ini.

Atap. Itu tujuanku, hanya di ketinggian ini aku merasa tenang. Semilir angin bersama terpaan mentari pagi seakan menjadi obat tersendiri bagi hati ini.

Tapi kali ini atap sedikit berbeda dari hari biasanya, ketika ada orang lain yang ikut menenangkan diri di daerah kesukaanku. Seorang wanita, cantik pula.

Aku baru sadar ketika tumpukan buku yang ia tata di batas atap terjatuh menciptakan suara yang sedikit nyaring.

“Apa aku mengganggumu?” tayaku seketika sembari membantunya menata buku itu kembali.

Matanya membola, terkejut melihatku yang tiba-tiba di sampingnya. Mulutnya menganga, tapi masih tak sanggup untuk mengeluarkan kata-katanya. Seperti orang yang sedang bertemu setan.

“Maaf, aku tidak tahu ada orang lain di sini,” katanya gugup. Bahkan roti yang sedang dilahapnya ia letakan di pembatas atap bersebelahan dengan kantung yang isinya tak jauh berbeda.

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang