6. Permainan Hati

2.6K 208 12
                                    

Aku sengaja meminta paman mengantar lebih cepat dari biasanya berharap bisa cepat bertemu dengan Oat lalu menjelaskan semuanya. Semalaman aku susah tidur, otakku begitu saja terus memikirkan tentang Oat.

“Kamu serius tidak bertengkar dengan Oat?” tanya Paman Ohm untuk yang kesekian kali.

Aku menggeleng lemah, tak bersemangat pagi ini.

“Kamu mencintainya?!” celetuk paman yang membuatku spontan menoleh.

“Aku bukan gay, Paman,” jawabku masih ogah-ogahan.

“Kamu yakin?” ekor matanya melirikku menggoda. “Ada kalanya kita tidak bisa menyadari sesuatu. Datang begitu saja tanpa sebuh kepastian, menggantung dalam benak membuatmu bingung sendiri. Tanpa sadar kalau kau tengah jatuh cinta,” petuahnya.

Yah, aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Jantungku bahkan bergemuruh hebat saat bersamanya, mencari segala kesempatan agar bisa bertemu bahkan bertindak bodoh untuk sekadar mencari perhatiannya. Hanya saja, bukan pada Oat rasa itu tertoreh melainkan Emma. Aku mencintai wanita itu sejak pertemuan ketidaksengajaan hari itu.

“Atau Oat yang menyukaimu?!”

Aku masih bergeming. Tak mengindahkan tebakan asal Paman Ohm yang sialnya tepat. Pagi ini, suasana jalan yang monoton seakan lebih menarik daripada celoteh paman yang terasa amat membosankan.

“Itu sangat jelas, Kit. Dari caranya memandangmu aku sudah tahu apa yang terjadi,” ucapnya dengan gaya detektif yang baru saja berhasil memecahkan kasus paling sulit.

“Kalian belum tidur bersama, kan?!” ucapnya seolah-olah terkejut dengan apa yang ia kata.

Aku menoleh, menyodorkan kotak hadiah yang belum sempat aku berikan tadi malam berharap Paman Ohm tidak melanjutkan cerita yang sukses membuatku bad mood dipagi buta.

“Gunakan dengan baik. Aku yakin kau menyukainya,” ucapku sedikit menyombong.

Dibolak-baliknya kotak hadiahku sesaat, kemudian sebuah decihan derdengar dari bibir ranumnya. “Terakhir kali Pen mengamuk mendapat hadiah darimu.” Sukses. Paman melupakan topik sebelumnya. “Setelah kondom, sekarang apalagi?!” selidiknya. Hadiah dariku ia letakan di dashboard.

“Pelumas,” jawabku santai masih menatap jalan dari balik kaca berlist hitam.

Aku mendengar paman kembali berdecih lalu mengacak pelan ujung kepalaku. “Dasar anak nakal. Siapa yang mengajarimu memberi hadiah aneh pada orang dewasa, hah?” candanya seolah marah. Padahal dalam hati dia sedang gembira bukan main. Aku tahu itu.

“Jangan terlalu banyak melakulan sex Paman. Itu tidak baik bagi kesehatanmu. Nanti tulang-tulangmu bisa keropos sebelum waktunya,” ingatku layaknya orang dewasa.

Paman Ohm terkekeh pelan lalu menjitak kepalaku lirih. “Baik, Pak. Aku tahu ....” jawabnya dengan nada mendramasitir.

Mobil menepi di depan gerbang sekolah, buru-buru aku turun setelah memberikan salam terlebih dahulu.

Oat buru-buru memutar arah ketika tahu aku satu koridor dengannya. Langkahnya lebar-lebar seakan sedang terburu-buru. Aku tidak mau kalah, kupacu kakiku untuk mengejarnya. Semuanya harus jelas, aku tidak pernah merasa jijik atau bagaimana dengan orentasi seksualnya.

Itu hak dia. Dia berhak mencintai siapa saja yang dia mau. Yah, dia juga harus tahu. Bahwa tidak selamanya cinta yang ia ulurkan terbalas dengan sempurna.

“Kita hsrus bicara,” ucapku langsung saat tangannya sudah berhasil kucekal.

Kepalanya menunduk. Tak berani menatapku. “Aku sedang ingin sendiri, Kit. Bukanlah kau tahu itu,” desisnya.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now