Epilog

3.7K 237 87
                                    

“Kit! Bangun atau papi siram pakai air panas?” ancam papi dipagi buta.

Aku merenggangkan otot, melirik jam weker yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Seriously? Aku libur hari ini, lantas kenapa papi heboh sekali. Biasanya dia akan tenang, membiarkanku tidur hingga siang—bahkan sore.

Aku menurut, turun dari ranjang menuju dapur. Daddy sudah duduk di sana, kepalanya masih tak seimbang hampir jatuh membentur meja karena ngantuk.

“Pagi, Dad,” sapaku lemah. Sesekali tanganku menutup mulut yang terus menguap. Aku lupa, semalam aku tidur jam berapa. Intinya sudah larut karena game baru yang dibelikan Paman Ohm.

Paman Ohm? Mataku membesar seketika, buru-buru aku beranjak ke ruang tamu menilik kalender di atas meja kecil sebelah sofa. Di sana, ada lingkaran tinta merah dengan keterangan ‘Wedding scene’. Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa hari ini. Pantas saja papi mengamuk.

“Sing, kenapa kau di sana? Mandi dan bersiaplah. Kita bisa telat nanti.” Omel papi yang terdengar ke ruang tamu.

“Dad, Paman Ohm menikah ...!” seruku mengahampiri daddy yang masih stay di kursi meja makan.

“Baru sadar? Apa otak kalian sudah kembali lagi?!” gerutu papi sembari berkacak pinggang memperhatikn kami berdua. “Cepat mandi atau terima akibatnya bila kita telat!” papi kembali mengancam lalu beranjak.

“Dad, apa kau melakukannya kasar tadi malam?” tanyaku lirih.

Papi menggeleng pelan dengan wajah cengonya. “Papimu menjadi lebih sensitif saat kembali dari rumah sakit.”

“Dia hamil?” seketika daddy langsung mendelik dan meninggalkanku sendirian.

Ada yang salah?

Pukul setengah delapan. Aku dan daddy berlari kecil mengahampiri papi yang sudah berdiri di samping mobil. Dia sangat tampan, setelan jas berwarna cokelat kulit terlihat sangat serasi dengan rambut pomade yang terlihat klemis itu.

Aku aku benar-benar terpanah oleh pesona papi.

“Cepat masuk mobil!” galaknya membuyarkan segala khayalanku. Ralat, aku tidak akan terpesona dengan papi yang galak.

“Lihatlah. Kau masih saja tidak bisa memakai dasi dengan benar!” Gerutu papi sembari membenarkan dasi daddy.

Jangan percaya. Daddy sedang berbohong dengan pura-pura salah mengenakan dasi. Tadi di dalam aku sudah hendak membantunya membenarkan tetapi dia larang lalu berkata, “Jangan, biar papimu saja.” Kemudian daddy menyengir aneh.

Papi sedang sibuk membenarkan dasi daddy. Lalu daddy tiba-tiba saja menerkam bibir merah muda papi dengan mesra. Aku bergidik dari dalam mobil berharap Tuhan mencongkel mataku saat ini. Sungguh, aku tidak kuat menyaksikan mereka bergumul dipagi hari.

Papi menepis tangan daddy yang neremas bokongnya lalu mendelik sangar. “Ada Kit, kau tidak malu?”

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku yang malu melihat ini semua. Fix, aku akan lakukan hal yang sama pada Emma.

Aku dan dia sudah jadian kira-kira ... Ah, aku lupa sudah berapa lama. Dan itu yang membuatnya terus menjitak kepalaku ketika dia menyinggung tanggal jadian kami. Eh, tapi kami belum menikah. Apakah boleh? Baiklah, setelah selesai acara Paman Ohm aku akan mendaftar untuk menikahi Emma agar segera bisa memciumnya atau meremas bokong seperti yang daddy lakukan.

Semakin aku tumbuh dewasa, entah kenapa pemandangan seperti ini jauh lebih nikmat. Aku tidak mesum, buktinya aku selalu menolak film porno yang selalu Paman Ohm pamerkan padaku.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now