16. Secerah Lembaran Baru

2.6K 211 37
                                    

“Kit, aku ingin bicara denganmu,” kata Max yang menghampiriku saat jam istirahat. “Untuk terakhir kali sebelum pindah dari sekolah ini.” Tambahnya karena aku tak kunjung menjawab.

“Apa yang sedang kau rencanakan, Max?!” Bukan aku yang menyelidik tetapi Oat. Pria itu sudah mengarahkan sorot mata tajamnya pada Max.

“Aku tidak berniat melakukan hal buruk. Waktuku sudah habis untuk itu. Aku hanya ingin bicara biasa ... Sebagai teman,” terangnya.

Aku mengangguk pelan lalu memberi isyarat pada Oat kalau semua akan baik-baik saja. Aku bangkit lalu beranjak mengekor Max yang membawaku ke atap.

Kami tidak langsung bicara, Max beberapa kali hanya hisap dan embuskan napasnya kasar. Membuka ruang dalam dada yang terasa sesak.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.

Max menoleh, membalik tubuhnya mendekat padaku. Matanya menyipit, aku yakin sekali dia sedang tersenyum di balik masker putihnya. Belum cukup di sana, Max juga mengulurkan tangan kanannya padaku menginginkan kami agar segera bersalaman.

“Maaf,” ucapnya yang masih belum juga kusambut uluran tangan dia. “Maaf aku sudah membuat harimu sangat sulit, maaf karena aku sering menghina orangtuamu dan maaf karena semua kesalahanku padamu,” beber Max masih setia mengulurkan tangannya.

“Kamu menyesal atau malu karena tertangkap basah sebagai biang kerok semua ini?!” alisku terangkat sebelah mulai mengintrogasi. Kalau biasanya, Max dengan senang hati mengeluarkan segala emosinya lalu mengambil ancang-ancang untuk memukul. Sekarang, kita lihat saja bagaimana akhirnya.

Max menarik kembali tangannya dengan kecewa. Ini uluran pertama dan aku menolaknya.

“Apa kamu tidak bisa menganggapku teman mulai saat ini?” tanyanya sendu.

“Bukan aku tidak mau menganggapmu teman, tapi asal kau tahu saja semua orang melabeli dirinya sebagai teman tetapi nyatanya mereka adalah lawan. Dan kau, setelah kejadian hari itu aku masih ragu untuk memenuhi permintaanmu ini,” beberku.

“Kau tidak akan rugi apapun, Kit. Setelah ini aku langsung pergi ke luar kota. Kita tidak bertemu lagi. Anggaplah kalau ini adalah permohonanku untuk mengahapus cacatan hitam yang aku tinggalkan. Aku ingin berubah, aku sadar apa yang aku lakukan salah.” Intonasinya rendah tetapi masih terdengar jelas oleh telinga. Aku masih ragu, tetapi sorot matanya terasa menyayat hati.

Aku tersenyum tipis, lalu mengulurkan tanganku sendiri. “Oke,” kataku membuat gurat wajahnya kembali cerah. “Berjanjilah untuk tidak masuk lubang yang sama, Max. Ingat, tidak semua orang bisa kau perlakukan sesuka hati. Satu orang melawan kau akan hilang arah lagi,” ceramahku.

Dia terkekeh, lalu menyambut uluran tanganku. Kami bersalaman beberapa saat, tanganya terasa amat dingin seakan pembicaraan ringan ini membuatnya gugup. Yah, siapa juga yang tak gugup. Kau perlu banyak keberanian untuk meminta maaf atau sekadar mengakui kesalahan.

Tidak mudah. Aku bahkan merasakannya sendiri.

Aku jalan ke pembatas atap, menghirup oksigen dalam-dalam. “Kapan kau pergi?” tanyaku basa-basi. Setidaknya, dengan seperti ini bisa meninggalkan kesan friendship yang dijanjikan.

“Mungkin besok. Ayahku sudah mengurus segala keperluanku,” terangnya ikut berdiri di sampingku.

“Kita itu seperti tanah tandus, Max. Terasa panas dan tidak nyaman. Tetapi, bila kau berhasil menanam satu pohon saja pada tanah itu, perlahan tumbuhan lain akan menyusul. Tidak perlu yang besar, kau cukup memulainya dari menanam benih. Menyiraminya perlahan agar tidak mati.” Kalimatku terhenti, aku menoleh pada Max yang menumpang dagunya di telapak tangan di atas pembatas. “Kau tahu maksud kalimatku ‘kan, Max?” tanyaku memastikan.

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang