15. Sel Induk

2.6K 207 31
                                    

Langkahku gusar menuju ruangan yang sudah diberitahukan daddy tadi. Di belakangku, Pie mengekor. Tadi, aku sudah menahannya tetapi wanita itu tetap memaksa sekaligus memberi tumpangan agar aku lebih cepat sampai daripada menggunakan kendaraan umum.

Aku melihat daddy duduk lesu sembari meremas tempurung kepalanya kasar merasa menyesal atas apa yang terjadi pada papi hari ini.

“Dad, bagaimana Papi?” tanyaku dengan napas terembus kasar.

Bukannya menjawab, daddy beranjak lalu memelukku erat. Bahunya bergetar menahan isak yang siap pecah kapan saja.

“Maafkan daddy, Kit. Daddy tidak bisa menjaga papi dengan baik.” Sesalnya.

“Jangan salahkan dirimu, Dad.” Aku mencoba menenangkan daddy meskipun aku sendiri khawatir setengah mati.

“Bagaimana dengan Krist? Apa dia sudah mendapat penanganan maksimal?” tanya Pie. Wanita itu juga terlihat khawatir.

Daddy tak menyentak seperti biasa. Dia hanya menggeleng lemah menanggapi pertanyaan Pie. “Krist baru diradiasi sembari menunggu donor sel induk yang tidak tahu sampai kapan batas menunggunya. Dia lemah, Pie, nyawa Krist terancam.” Daddy kembali terisak sedikit keras.

Pie mendekat, memeluk daddy dengan kehangatan. “Aku hanya bisa membantumu dengan doa, Sing. Kau harus sabar, Krist pasti baik-baik saja.”

Ponsel Pie berdering, membuat wanita itu melepas pelukannya lalu merogoh tas tangannya yang mahal. Kemudian, matanya membola mendapat kabar dari suara merdu seberang telepon.

“Ma, ayah Ma ....” sang pemanggil tak bisa menjelaskan perinciannya. Wanita itu sudah lebih dulu terisak.

“Tunggu di sana, Sayang. Mama datang,” tukas Pie buru-buru. “Aku harus pergi. Sepertinya, suamiku juga sedang tidak baik.”

Kebetulan, rumah sakit tempat suaminya dirawat sama. Jadi Pie bisa tiba lebih cepat sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Koridor lengang, aku atau pun daddy memilih diam sembari menerawang langit-langit yang bersih dengan segunung doa yang aku hantarkan untuk kesembuhan papi.

“Bagaimana Krist? Dia baik-baik saja, kan?!” celetuk Bibi Pen tiba-tiba. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan dia dan Paman Ohm datang.

“Aku berharap begitu,” lirih daddy masih dengan tatapan sendu.

“Sekarang, di mana dia?” tanya Paman Ohm.

“Ditangani dokter untuk pemeriksaan keseluruhan dan menjalani beberapa terapi.”

Sama seperti daddy, kedua pria itu juga khawatir. Bahkan Bibi Pen tidak ikut duduk seperti yang lainnya. Dia terus berjalan mondar-mandir dengan wajah ditutupi telapak tangan.

Tuhan sedang baik padaku, tak berapa lama, seorang dokter menghampiri kami dengan senyum semringah. Membawa kabar gembira sekaligus duka.

“Kita akan segera lakukan operasi sel induk, Pak. Sekarang, Pak Krist akan kita siapkan untuk penerimaan sel induk itu. Bersyukurlah, ada seorang wanita yang merelakan suaminya menjadi pendonor. Bagaimana pun, ini sebuah anugerah,” beber dokter.

Aku senang bukan main, lalu kembali murung saat tahu ternyata ayahnya Emma pendonor sel induk yang dokter maksud.

Serangkaian tes dilakukan. Kecocokan pasien dan pendonor serta beberapa terapi yang diharuskan juga berjalan lancar. Di depan ruang operasi, aku tak bisa menahan egoku untuk benci pada gadis manis itu. Sesaat, aku merasa menjadi manusia paling hina membencinya hanya karena sebuah masalah kecil.

Wajahnya muram, pipinya basah dengan airmata. Bagaimana juga, ayahnya sudah tiada. Dia meninggal saat menjalani prosedur transplantasi.

Bibirnya yang ranum bergerak pelan. Menghantarkan doa untuk kesembuhan papi. Aku memaksa kaki untuk melangkah mendekat, membuang jauh-jauh egoku yang tinggi untuk sekedar basa basi menenangkannya.

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang