9. Rahasia Lama

2K 201 29
                                    

Aku tidak menyangka kedatanganku di rumah sakit karena mendapat kabar nenek pingsan menjadi sedramatis ini. Di hadapanku, Emma sudah memasang senyuman yang mati-matian aku berusaha melupakannya.

Dia mengangkat tangan kanannya, menyapaku dengan sangat canggung.

“Kamu ke rumah sakit juga? Ada yang sakit?” tanyanya.

“Nenek,” jawabku datar. “Dia pingsan jadi aku ke sini setelah mendapat kabarnya.”

Dia mengangguk, dan kurasa mengerti. “Papaku juga dirawat di sini. Sekarang aku lagi jenguk dia. Kenapa kebetulan sekali ya,” bebernya tanpa kutanya.

“Kebetulan? Kebetulan bagaimana?” tanyaku dengan kening menyerit. Aku tidak mengerti dari maksud kata ‘kebetulan’ yang dilontarkannya.

“Kebetulan kita bertemu di sini setelah beberapa hari tidak bertemu di sekolah,” jelasnya.

Bukan tidak bertemu. Tapi kamu yang tidak melihatku. Sedangkan aku dengan bodohnya terus saja memperhatikanmu bermesraan dengan pria itu. Batinku.

“Ah, ya. Kebetulan sekali,” kilahku meniru ucapannya. Tanganku menggaruk tengkuk keki sementara bibirku mengulas senyum aneh.

“Aku sibuk akhir-akhir ini jadi tidak sempat ke atap seperti janji kita,” ungkapnya.

Aku nyaris tertawa—tertawa miris—tapi untungnya masih bisa kutahan hingga kedua pipiku menggelembung mengemban suara yang terus mendobrak keluar.

Sibuk katanya? Yang benar saja, aku hanya melihatnya bermalas-malasan sambil merona di seluruh wajah itu yang dia sebut sibuk? Wanita selalu saja aneh, kenapa dia tidak bisa jujur saja? Setidaknya dengan begitu tidak menyulitkan para pria dalam mengambil langkah selanjutnya. Teruskan atau tinggalkan. Bukan seperti ini, terus dikode seakan diberi harapan.

“Tak apa. Aku juga tak sempat ke atap. Sibuk.” Kutekankan kata ‘sibuk’ sedikit menyindir. Tetapi dia malah tersenyum sembari mengangguk seakan kami sedang memahami urusan masing-masing.

“Kau sudah menjenguk nenekmu?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan. “Bagaimana kalau kita cari tempat untuk beebicara? Kebetulan mamaku juga datang. Kita bisa bergabung bersamanya di cafe dekat rumah sakit.” Tawarnya.

Aku menurut. Mengikuti langkahnya meninggalkan rumah sakit.

Cafe tidak terlalu ramai. Beberapa meja masih terlihat kosong. Mata Emma berbinar mendapati wanita yang ia sebut mamanya tengah duduk dengan ... Papi?

Keningku menyerit, menajamkan pandanganku pada pria yang terlihat serius tengah berbincang dan sesekali menyesap jus jeruknya.

“Kamu mau makan apa?” tanya Emma membuyarkan lamunanku. “Aku yang traktir.” Tambahnya lagi menanggapi ekspresi gagapku.

Emma memutuskan memesan terlebih dahulu baru bergabung bersama wanita yang aku sendiri tidak bisa menduga kisaran berapa umurnya.

“Terserah,” jawabku lalu dia mengangguk dan kembali menoleh pada meja pesanan.

Lamat-lamat aku bisa mendengar papi berbicara sedikit keras dengan nada memohon. Yang akhirnya membuatku mematung tanpa bisa berkata-kata.

“Kenapa kau memintaku menikah dengan Singto? Bukannya kau mencintai dia?” wanita itu sedikit terkejut atas permintaan papi.

“Hanya kau wanita yang kupercayai bisa menjaganya. Jujur, aku sempat bingung tentang hal ini tetapi setelah bertemu kembali dengamu membuatku bisa bernapas lega sekarang,” beber papi.

“Aku masih punya suami, Krist. Dia sedang sakit saat ini. Tidak mungkin aku meninggalkan dia dan menikah dengan Singto. Aku sudah tidak seperti dulu lagi,” wanita itu masih bersikukuh menolaknya.

Daddy's [TAMAT]Where stories live. Discover now