4. Black and White

3.1K 245 14
                                    

Aku tidak bisa tidur nyenyak setelahnya. Kalimat demi kalimat Papi Krist terus menggantung dalam kepala tanpa ujung yang jelas. Alhasil, ketika pagi menyapa mataku terlihat sedikit menghitam dan mengantung tipis.

“Kau menangis?” tanya daddy ketika kami berangkat tadi.

Aku menggeleng kuat tanpa berbicara.
Belum cukup di sana. Ketika di sekolah Oat pun bertanya hal yang sama. Tidak cukup sekali bahkan ketika bel istirahat pertama berbunyi dia masih mendesakku untuk bercerita.

“Aku bergadang semalam. Main game,” dustaku. Itu lebih baik daripada Oat tidak bisa diam sama sekali.

“Kantin,” ajaknya dan aku menggeleng.

“Aku masih masa hukuman. Kau tidak lupa kan yang aku ceritakan semalam. Jadi aku harus berhemat,” lagi-lagi aku berdusta. Nyatanya aku hendak menemui Emma di atap seperti janji kami kemarin.

“Aku yang traktir,” jawabnya cepat.

Alisku naik sebelah. “Kau punya uang?”

“Uangmu kuganti besok, hari ini aku yang traktir.” Tegasnya.

Aku memutar bola mata. Mencoba cari alasan lain untuk menghindar. Entah kenapa aku belum siap untuk menceritakan yang sebenarnya.

“Pergilah, aku akan menyusul nanti. Ada sesuatu yang harus kulakukan.” Setelah mengucapkan itu, aku memutuskan beranjak sebelum Oat menanyaiku lain-lain.

Aku sempat meliriknya, dahinya berkerut heran menatapku beranjak membawa ransel. Biasanya, ransel selalu kutinggal tapi hari ini aku sudah siapkan beberapa camilan untuk mengisi obrolan kami nanti.

Sesampainya di atap. Emma belum datang, mungkin saja wanita itu terlambat atau ada sesuatu yang harus diurusnya terlebih dahulu.

Aku duduk di pembatas atap. Menatap kerumunan siswa yang lebih serupa semut dari ketinggian ini. Sebenarnya, pemandangan tak ada yang berubah. Masih sama, dengan kegiatan masing-masing siswa. Ada yang bermain basket, bola kaki atau sekadar duduk-duduk santai di kursi panjang bawah pohon besar dekat pagar sekolah.

Kumasukan kembali keripik kentang rasa ayam panggang dalam mulut sembari berhayal tentang aku dan Emma yang sedang mengobrol ringan diselingi tawa seperti pertama kali.

Hampir lima menit aku menunggu. Wanita itu baru tampak menyembul dari pintu tua penghubung atap. Wajahnya terlihat lelah, mungkin saja sedikit berlari ketika ingat janji kami hari ini.

“Maaf,” ucapnya sedikit tersengal.

“Tak apa. Aku baru saja,” jawabku lembut beranjak dari dudukku. “Kau berlari?” tanyaku memandang Emma yang sedikit membungkuk mengatur napasnya.

“Minum,” tawarku menyodorkan sekotak susu rasa strawberry.

Aku tidak tahu Emma akan suka atau tidak. Tapi aku masih ingat dia bilang penggemar strawberry. Jadi aku beli saja susu berperisa buah kesukaannya ketika berkunjung ke minimarket kemarin.

“Terima kasih,” bilangnya meraih kotak susu yang aku sodorkan.

Kami berjalan ke pembatas, bertopang lengan untuk menyanggah berat badan sembari menikmati semesta yang seakan ikut tertawa.

Sesekali aku meliriknya, matanya terlihat berbinar memandang dari atas sini. Bibirnya menyunggingkan senyum membuat lesung pipi dalamnya kembali terlihat. Dan ... Aku suka itu.

“Ini.” Aku menyodorkan roti selai strawberry padanya. “Kesukaanmu yang kumakan kemarin,” alasanku. Aku terlalu bodoh untuk mencari bahan pembicaraan yang lain hingga terlontar kalimat-kalimat klise yang terdengar konyol.

Daddy's [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang