Bagian 3

306 12 7
                                    



Baik hati dan suka menolong. Setidaknya itulah penilaian Karina untuk Ilham, sampai lima belas menit yang lalu. Sebelum bunyi telepon dari pemuda itu mengacaukan rencana terbaiknya untuk tidur siang, setelah semalaman begadang mencari materi untuk menyusun skripsi.

Rasanya kerinduan gadis itu akan bantal dan guling belum terbasuh sempurna, tapi dengan tidak sabaran, ponselnya terus berdering. Panggilan masuk dari Ilham, setelah beberapa SMS dan BBM dari pemuda itu dia diabaikan. Bukan apa-apa, Karina benar-benar butuh istirahat. Namun dengan amat sangat tidak tahu diri, Ilham memintanya segera ke kios dengan alasan yang katanya gawat darurat.

Sesampainya di sana, kios ayam goreng milik Ilham masih tertutup rapi, bahkan Karina ragu kalau ada seseorang yang sedang beraktivitas di dalam sana.

Baru saja gadis itu mengeluarkan ponsel hendak menelepon, rolling door di depannya terangkat, menampilkan sosok pemuda berwajah malaikat.

Iya, sebutan itu sama sekali tidak berlebihan untuk seorang Ilham, setidaknya bagi takaran Karina yang sebelumnya sulit tertarik pada seseorang. Termasuk mereka yang katanya tajir melintir, dan jadi idola kampus. Ilham begitu berbeda di mata Karina. Semarah apa pun dirinya, sejengkel apa pun dia karena kelakuan pemuda itu, hatinya tetap luluh ketika melihat keteduhan dari wajah Ilham. Matanya memancarkan aroma ketenangan dan kesejukan, kombinasi udara di langit subuh, dan permukaan danau yang jernih.

Pada akhirnya, gadis itu malah melambaikan tangan pada si pengacau susunan otak.

"Hai, ada apa? Dari suara Mas Ilham tadi, kedengarannya ada yang penting banget."

"Karina, akhirnya kamu sampai juga. Maaf banget ya aku gangguin Karina sepagi ini, tapi aku bener-bener butuh keberadaanmu di sampingku."

"Ya?"

"Oh, maksudku, aku perlu seseorang untuk mendampingiku. Nggak banyak teman yang kupunya, dan Karina satu-satunya yang bisa kuhubungi."

Pemuda itu berbicara sambil menyalakan kompor yang ada di gerobak depan, lalu menuangkan minyak. Setelahnya dia berjalan ke arah belakang, merapatkan beberapa meja yang ada di sana, kemudian menata dus-dus dengan logo ayam bertuliskan "Si Jago."

"Maksudnya?" Karina masih belum mengerti maksud ucapan lawan bicaranya. Mendampingi? Maksudnya apa sih?

"Iya. Lebih sederhananya berada di sisiku, untuk membantu menyelesaikan semua ini. Aku sama sekali nggak ada persiapan, tapi pas banget baru sampai ke sini, tadi ada ibu-ibu yang pesen paket nasi box tujuh puluh porsi. Dan mereka cuma ngasih waktu dua jam. Jadi mau nggak mau aku harus cari bantuan."

Jawaban panjang lebar dari Ilham, bukan membuat Karina paham. Justru ada sesuatu yang lain di sudut hatinya. Semacam rasa kecewa, karena makna kata mendampingi bagi seorang Ilham, ternyata sangat jauh berbeda dengan apa yang sempat terlintas di benaknya tadi.

Astaga! Apa-apaan ini? Ayolah Karina, kamu masih cukup waras buat kesengsem sama cowok model Ilham. Ada begitu banyak pria di luar sana yang bahkan rela mengantre buat jadi pendamping Karina. Entah sekedar untuk pacaran, atau mengajak salah satu dari mereka ke pelaminan.

"Ada apa?" tanya Ilham sambil memasukkan dua bungkus kecil saos ke dalam box.

"Nggak ada. Aku masih heran aja, gimana bisa Mas Ilham malah meneleponku. Ini bukan modus terselubung, kan?"

Karina berusaha menyelidiki niat pemuda itu secara terang-terangan. Ya, begitulah Karina. Dia tipe yang akan mengatakan apa saja yang ingin dia katakan.

"Bisa iya, bisa juga enggak," jawab Ilham santai. "Tapi aku bakalan lebih setuju kalau kamu menganggap ini sebagai caramu membalas budi."

"Balas budi?"

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now