Bagian 17

128 5 0
                                    

Biasanya Ilham langsung pulang usai jamaah shalat magrib, dia selalu tak sabar untuk bertemu sang istri yang akan menyambutnya dengan gembira. Tetapi tidak kali ini. Ilham sadar harus mulai menjalin lebih banyak interaksi dengan warga sekitar, seperti yang dicontohkan Karina di Rumah Sakit siang ini.

Karena itu, sebelum mengenakan sandal dan kembali, Ilham duduk-duduk di teras masjid bersama beberapa pemuda yang mengingatkan dirinya akan masa remaja. Masa di saat Ilham belum mulai berjualan, masih bingung mau berbuat apa untuk kehidupan. Belum punya arah tujuan yang jelas, dan sering dilanda kegalauan.

Ilham memperhatikan satu per satu remaja yang bergerombol. Sesekali ikut tertawa oleh banyolan mereka yang tak keberatan berbagi keceriaan. Tak lama kemudian satu per satu remaja mulai pulang. Hanya tinggal seorang saja yang sedari tadi sibuk menenangkan teman-temannya seolah dialah yang paling dewasa.

Tubuhnya tak begitu kurus atau gemuk. Kulitnya kecokelatan, biji matanya berwarna serupa. Dengan tinggi badan yang nyaris sama dengan Ilham dan rambut lurus yang ditata acak, cowok itu lebih pas kalau dijadikan pemeran serigala ganteng.

Pemuda itu menyapa Ilham dengan ramah. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan oleh seorang Ilham, karena dia sendiri sebenarnya masih agak canggung dengan orang sekitar.

"Belum pulang, Bang?"

"Belum. Kamu sendiri?"

"Aku sekalian nunggu Isya, Bang. Denger-denger Abang mau buka ayam geprek di Tendean, ya?"

"Insya Allah."

"Wah keren. Pasti rame tuh, Bang. Apalagi ayam goreng buatan Abang kan enak."

"Iya kah?"

"Iya, Bang. Gue pernah makan punya adek, iseng-iseng nyobain. Beuuh! Gak beda jauh sama ayam goreng Kolonel."

"Bisa aja." Meskipun mengelak, tapi Iham juga sebenarnya merasa bangga.

"Nanti kalau udah buka, gue ajakin deh temen-temen buat makan di tempat Abang."

"Wah, makasih kalau gitu."

"Nanti kalau Abang butuh karyawan bilang aja sama gue, Bang. Tar gue cariin temen yang terpercaya."

"Wah bagus juga. Omong-omong siapa nama kamu?"

"Ah elah, Abang! Nih ya, gue bilangin, di Jakarta ini jangan bilang aku kamu, aku kamu, kecuali ama gebetan. Untung gue cowok, kalau cewek bisa meleleh Abang panggil kamu-kamu."

Ilham tertawa menanggapi banyolan pemuda yang baru pertama ini berinteraksi dengannya.

"Oiya, gue Zul, Bang. Inget-inget ya, Zul. Lengakpanya Zulkifli, yang tadi ntu adek gue namanya Zulfikar panggilannya Fikar."

"Oh, kembar?"

"Ya gitu deh."

"Tapi nggak gitu mirip?" komentar Ilham sambil mengingat-ingat paras bocah lelaki yang terlihat sangat dekat dengan Zul beberapa saat sebelumnya.

"Ya, Bang kata Emak, kami kembar tak identik." Ilham mengangguk untuk menaggapi penjelasan teman barunya.

"Apa nama kedai Abang?"

"Nama?" Ilham terlihat berpikir, dan baru menyadari kalau dia sama sekali belum menyiapkan tentang nama kedai barunya. "Belum tahu."

"Dipikirin dulu aja, Bang. Nanti gue bantu promosi di Instagram. Pokoknya Abang tenang aja deh."

Mendengar kata promosi, mendadak Ilham teringat Karina yang juga melakukan hal itu. Dia jadi berpikir sepenting apasih promosi? Apa yang harus dilakukan agar bisa promosi? Tadinya Ilham mau ikut menunggu waktu Isya bersama Zul, tapi demi memenuhi rasa penasaran, dia harus segera pulang dan menanyakan pada istrinya.

Ilham segera bangkit dan berpamitan.

"Abang pulang dulu, Zul."

"Oke, Bang."

"Makasih ya."

Zul hanya mengangkat bahu, tak mengerti untuk apa Ilham berterima kasih, tapi juga tak mau membuat lelaki itu lebih lama menunda kepulangannya.

Karina bukan hanya kekasih yang mampu menggenapi jiwa. Wanita cantik itu juga seperti ensiklopedia bagi Ilham. Seolah seluruh waktu dalam hidupnya, digunakan untuk belajar dan membaca sehingga apa saja yang ingin diketahui Ilham pasti Karina punya jawaban.

Hanya urusan masak-memasak sajalah yang paling tidak dikuasainya. Tetapi dalam hal itu, Ilham tidak butuh penjelasan apapun kecuali dari orang yang ahli memasak. Ilham tidak butuh tips, terlebih dari Karina.

Dia ingat ketika itu, ada seorang pelanggan yang berkutat dengan laptopnya terus-menerus selama beberapa jam di kios. Orang itu bahkan tidak menghiraukan orang-orang lain yang datang dan pergi. Dia juga membiarkan es teh yang dipesan kehilangan suhu dinginnya. Seolah di dalam kios hanya ada dirinya yang tenggelam dengan entah apa di dalam laptop.

Awalnya Ilham takut apakah orang itu kerasukan atau semacamnya. Atau bisa jadi dia memiliki semacam gangguan jiwa. Ilham bahkan sempat berpikir untuk meninggalkan kios begitu saja, tapi urung, karena tidak berhasil mendeteksi adanya bahaya dari orang yang dimaksud.

Setelah selesai dan membayar, Ilham bertanya pada Karina. Menurut kekasihnya, bisa jadi orang tadi sedang mengalami trance. Karina menjelaskan bahwa dalam keadaan tersebut, orang akan sangat berfokus pada apa dikerjakannya dan cenderung mengabaikan sekitar.

"Dalam keadaan demikian, bahkan orang bisa mengabaikan dirinya sendiri. Misalnya, tidak sadar akan rasa lapar dan haus. Dan juga pastinya, lupa waktu."

"Oh begitu, ya?"

"Mas Ilham juga bisa trance loh," ujar Karina.

"Masa sih?"

"Ya kalau misalnya lagi masak ayam goreng, tau-tau gosong deh."

"Yah, itu sih Karina yang bisa gosongin ayam!"

"Tuh kan? Mulai lagi," rajuk Karina menyesal telah membuat candaan yang akhirnya menyerang dirinya sendiri.

"Haha, nggak apa-apa, walaupun gosong kalau ayam buatan Karina pasti tetep enak."

"Gombal!"

Tanpa terasa Ilham tersenyum-senyum sendiri saat berjalan pulang dari masjid, ketika ingatannya memutar kembali kenangan awal kebersamaannya dengan Karina. Calon ayah itu mempercepat langkah, tak sabar ingin melihat wajah cantik kekasihnya yang juga akan menjadi seorang ibu.

Ilham yakin, Karina akan jadi ibu yang baik dan cerdas. Dia akan telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari bibir mungil anak mereka kelak. Kalau rasa penasaran Ilham saja terpuaskan, pasti juga dengan anak mereka. Ilham sadar, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Sebagaimana dulu ibunya mengajari Ilham kecil, menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya.

Apakah dia jatuh cinta pada Karina karena sikap itu? Sikap yang mengingatkan Ilham pada ibunya? Ah, rasanya tak perlu alasan apapun untuk jatuh cinta pada Karina. Ya, Ilham tidak perlu alasan, meskipun dia jadi punya seribu bahkan sejuta alasan untuk mempertahankan wanita itu tetap berada di sisinya. Mengisi hari-harinya, beserta hati dan jiwa. Menggenapi kehidupan Ilham yang apa adanya untuk kemudian berjuang bersama meraih satu tujuan, bahagia.

"Assalamualaikum. Karina ... Karina, Sayang."

Ilham mencari Karina di ruang depan, dapur, kamar tapi yang dicari tak kunjung ditemukan.

"Karina...." Ilham melangkah ke luar.

"Kamu di mana, Sayang?"

Tidak juga menemukan keberadaan Karina, seketika kepanikan mulai mencemari ketenangan, dan kebahagiaan yang sempat dirasakan Ilham.

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now