Bagian 14

118 3 2
                                    


Sejak bersama Ilham, Karina senang dengan suasana pasar. Apalagi setelah keduanya pindah ke Jakarta. Aroma, warna-warni, serta interaksi yang terjadi di sebuah pasar adalah hiburan tersendiri baginya. Hampir setiap Ilham berbelanja bahan, dia akan ikut serta, sekaligus membantu suami. Namun tidak kali ini. Karina memilih untuk diam di rumah, membiarkan Ilhamnya pergi seorang diri.

Ada yang harus dilakukan dan menurut Karina lebih baik jika Ilham sedang pergi. Wanita itu men-dial nomor handphone Yoga untuk membicarakan sesuatu. Karina berhitung dalam hati saat menunggu panggilannya tersambung.

"Halo," sapa lelaki di ujung sinyal dengan suara yang sangat dirindukan Karina.

"Halo, Papa."

"Karin, apa kabar, Sayang? Kenapa kamu jarang sekali menelepon? Apa semuanya baik-baik saja?"

Mendengar yang diucapkan Yoga, Nilam segera mendekat. Wanita itu meminta suaminya untuk meletakkan handphone di atas meja, dan menekan tombol load speaker. Biar bagaimana pun, Nilam juga sangat merindukan putrinya.

"Maafin Karin ya, Pa. Semuanya baik-baik saja."

"Ilham? Apa dia menjagamu dengan baik?"

"Tentu, Pa."

"Syukurlah. Kapan kalian akan pulang, Sayang? Papa sama Mama sudah kangen sama Karin."

"Belum sekarang, Pa. Papa masih di rumah atau di kantor?"

Yoga melirik ke arah Nilam sebelum menjawab, wanita itu menggeleng dan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Di kantor, Sayang. Ada apa?"

"Ada yang mau Karin bicarakan sama Papa."

"Tentang?"

"Apa Papa sudah baca email Karin?" Gadis itu sedikit menahan napas ketika menunggu jawaban dari papanya. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, pertanda Karina sedang gugup, atau mungkin lebih tepatnya tidak sabar menunggu jawaban dari seberang.

"Iya, Sayang. Papa masih mempelajarinya."

"Jadi gimana? Apa Papa bisa bantu Karin ... tanpa sepengetahuan Mama?"

"Tanpa sepengetahuan Mama?" Yoga menghentikan gerakan tangan yang hendak mengambil minum. Ekor matanya melihat ke arah sang istri yang mulai berkaca-kaca. "Kenapa, Sayang?"

"Papa tahu persis alasannya."

"Karin, Papa tahu Mamamu keterlaluan," Yoga menggenggam tangan Nilam ketika mengatakannya. "Papa juga tahu kamu sudah berjanji untuk membuktikan sama Mama, bahwa kamu bisa bahagia. Tapi, Papa tidak mungkin melepaskan uang tanpa sepengetahuannya."

"Karin mohon, Pa ... Anggap saja ini hadiah yang Papa janjikan di hari ulang tahun Karin ... Ya?"

Benar, Yoga sudah berjanji pada putri semata wayangnya, bahwa dirinya akan menggantikan almarhum nenek Karina, untuk memberikan satu permintaan tanpa penolakan setiap tahun, dan itu adalah janji yang tidak akan dia ingkari.

"Baik lah ..."

Karina tersenyum simpul mendengar jawaban papanya.

"Tapi saat ini Papa masih mempelajari proposalmu, dan sepertinya di sana ada sedikit kesalahan."

"Kesalahan? Kesalahan apa, Pa?"

"Di bagian pengembalian modal. Kamu mengestimasi pengembalian modal dalam satu tahun. Hanya satu tahun? Semoga hanya bercanda. Kamu anak Papa yang cerdas, mana mungkin seceroboh ini?"

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now