Bagian 9

130 6 2
                                    

"Mas, besok bisa temenin Karina ke toko buku buat nyari bahan tambahan referensi, nggak?" Karina bertanya dengan sedikit ragu.

Itu sama sekali bukan ajakan kencan. Meski bagi sebagian remaja, jalan bareng ke toko buku bisa bermakna lain. Tetapi tidak bagi Karina. Seperti yang dia katakan, itu hanya sebuah permintaan untuk menemani mencari bahan referensi. Setidaknya, saat Bianca tidak bisa pergi dengannya, dia tidak akan merasa seperti orang hilang yang keluyuran sendirian.

Tentu saja, tanpa berkata iya pun, sesungguhnya hati Ilham sudah mengiyakan seribu kali, menepis keraguan-keraguan yang tak kalah banyak jumlahnya.

Hanya menemani. Ilham menggaris bawahi dan menandai kalimat itu dengan highlighter pen hijau neon untuk membatasi diri dari berharap yang lebih dan bertindak di luar yang semestinya.

Namun tak dapat dipungkiri ada sesuatu yang terasa mengejutkan. Seperti bola yang terus memantul-mantul dalam tubuh, mengacaukan pikiran serta memaksa bibirnya melengkung lebih sering. Tak dapat dipungkiri dalam dirinya mulai tumbuh sebenih perasaan yang jika dibiarkan hidup Ilham menyangka akan tumbuh begitu besar dan subur. Entah sejak kapan benih itu ada di sudut hatinya, yang dia tahu, perasaan nyaman dan bahagia selalu hadir ketika ada Karina di dekatnya.

Juga, kalau diperbolehkan sedikit sok tahu, Ilham bisa melihat percikan-percikan kembang api di mata Karina saat bicara dengan dirinya. Meskipun hanya sekilas-sekilas Ilham memandang, karena dia yakin tak akan punya daya lebih untuk berlama-lama apalagi menatap mata Karina, bisa-bisa deman tujuh hari tujuh malam!

Demi tampil baik di hadapan Karina, cowok itu sengaja membeli pakaian baru dan berusaha tampil maksimal. Menata rapi rambut, juga memakai parfum yang aromanya maskulin tapi tetap lembut. Hal itu nyatanya berhasil membuat Karina terdiam sejenak ketika mereka bertemu. Antara terpesona, ragu-ragu, atau takut ketahuan pacar dan Ilham mengharapkan hal yang pertama.

"Bukannya sekarang harusnya kamu pulang ke rumah?" Ragu-ragu Ilham bertanya, mengingat selama mereka saling kenal, dalam ingatan Ilham, Karina hanya pernah satu kali menyebut kata rumah.

"Iya, Mas. Pulang nanti malam kan juga bisa. Rumahku nggak terlalu jauh dari sini."

Iya, pilihan tinggal di rumah kos sama sekali bukan karena jarak rumah yang jauh dari kampus. Karina tinggal di kos-kosan sederhana itu, karena dia ingin lebih konsentrasi saat mengerjakan skripsi. Berada di rumah bersama mama dan papanya, mungkin terdengar menyenangkan, tapi tidak saat gadis itu memerlukan ketenangan lebih seperti saat sekarang. Mama pasti akan merecoki kesibukannya dengan banyak hal. Mengingatkan tentang makan yang harus ini harus itu, dan yang pasti perempuan itu tidak akan pernah membiarkan Karina mengabaikan tentang penampilan, dan akan mengajaknya lebih sering ke salon kecantikan. Hal yang belakangan ini menjadi urutan nomor sekian, jauh di bawah urusan kampus.

"Iya. Tapi, kalau ada teman yang lihat kamu jalan sama aku, apa nggak masalah?"

"Maksudnya? Kita kan berteman. Atau jangan-jangan...?"

"Jangan-jangan apa?" Ilham sedikit panik.

"Mas ge-er ya kuajak jalan. Hahaha!" Karina tertawa, bukan hanya karena mimik muka Ilham yang seperti maling ketangkep habis nyolong jemuran. Tawa itu juga dia gunakan untuk menutupi rasa grogi yang tiba-tiba menyusup.

"Karina!" Ilham tidak tahu lagi bagaimana menyembunyikan perasaannya, yang sepertinya sudah semakin subur. "Ya, ge-er sedikit, boleh dong. Haha!" Cowok itu ikut tertawa. Lebih tepatnya menertawakan diri sendiri.

"Tuh kan Haha!?" Karina kembali tertawa.

"Ya, aku kan juga nggak mau bikin orang cemburu."

AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now