Bagian 8

126 8 0
                                    


"Rin, aku kok belakangan sering banget kena sial, ya?"

Bianca melepaskan headphone yang melingkar di kepala, ketika dirasa dirinya perlu berbicara cukup serius dengan Karina.

"Sial kenapa kali ini? Kalah fanwar ama fans boyband lokal lagi? Atau ditinggal wamil ama gebetan halu kamu?"

Seekor kucing memotong jalan keduanya, si belang menggemaskan itu memang sering terlihat di sekitar kampus, beberapa mahasiswa usil kadang ada yang sengaja membawanya ke kelas Miss Nirmala, dosen killer yang alergi bulu kucing. Kalau sudah begitu, bisa dipastikan kelas tidak akan kondusif, dan Miss Nirmala akan segera berlalu dari hadapan mereka.

"Bukan itu, Rin, ini kesialan yang nyata. Anehnya, itu selalu muncul tiap aku ketemu ama seseorang. Seolah pada jarak seratus meter aja aku bakalan kena aura sialannya yang gelap-terang."

Bianca iseng melempar potongan biskuit ke arah si kucing. Kucing itu dengan senang hati menghampiri, dan mengendus-endus remahan biskuit yang dilempar Bianca.

"Gelap terang? Maksudnya?" Karina berhenti, tangannya merogoh saku jaket dan menemukan sepotong tulang kering.

Tiba-tiba senyumnya terbit dalam dua detik, lalu melemparkannya ke arah si kucing sebelum kembali menyusul Bianca. Ingatannya memainkan memori tentang bagaimana tulang ayam itu bisa berada di saku. Entah, sejak dia melihat betapa seorang Ilham sangat menyukai seekor kucing, kapan pun dan di mana pun Karina memakan ayam, dia akan membungkus tulangnya dengan tisu, dan meletakkannya di saku tas atau jaket, untuk diberikan pada kucing yang sering berkeliaran di dekat kos.

"Iya, auranya gelap, tapi juga terang. Semacam ada cahaya yang terlalu terang darinya, jadi aku kesulitan untuk melihat sekitar."

"Terus, di mana sisi sialnya? Kalau dilihat dari caramu bicara, menurutku kamu justru lagi kesengsem sama dia."

"Tunggu, aku belum selesai." Mereka sudah sampai di kios ayam goreng milik Ilham. Keduanya duduk di kursi belakang, tepat di bawah kipas angin.

"Setiap aku ketemu sama dia, aku pasti kena sial dan hampir jatuh. Inget kan, waktu aku tabrakan ama cowok gondrong beberapa hari lalu? Kemarin aku ketemu dia lagi, dan hampir masuk got gara-gara dia."

Bukannya bersimpati, Karina malah tertawa. Bianca memang konyol, tapi dia tidak bisa membayangkan kalau sampai gadis itu benar-benar masuk got dan jadi bahan tertawaan orang sekampus.

"Ish! Kok malah ketawa, si?"

"Ya habisan, kamu jadi cewek nggak bisa banget kayaknya kalau nggak pecicilan, ya?"

Ilham yang baru keluar sambil menenteng minyak goreng, hampir saja menyapa Karina, tapi gadis itu memberikan isyarat untuk diam.

"Hai, Rin, sorry telat. Tadi aku ada urusan." Seseorang menghampiri mereka dan segera duduk di meja yang sama.

"Kamu!" pekik Bianca ketika menyadari, kalau orang yang barusan bergabung dengannya adalah orang yang dari tadi sedang mereka bicarakan. Si cowok gondrong pembawa sial. "Ngapain kamu di sini? Bangku lain masih banyak, main duduk aja. Ini tuh buat temen kita nanti," lanjutnya dengan nada yang sangat tidak bersahabat. Takut kalau sebentar lagi dia akan kena sial. Lagi.

"Yang kita tunggu udah dateng, Bianca." Karina nyaris tertawa ketika mengatakannya.

Dia ingat betul, cowok yang tabrakan sama Bianca kemarin itu ya Fredy, temannya di komunitas fotografer. Sejak setahun terakhir, Karina tertarik untuk mendalami dunia fotografi, meski secara otodidak. Dan masuk ke komunitas kampus yang isinya mahasiswa-mahasiswa dengan minat yang sama, dia berharap akan mendapatkan banyak ilmu tentang fotografi. Terbukti, dia bertemu Fredy yang dengan senang hati mengajarkannya banyak hal. Hari ini mereka berencana pergi bersama ke acara pameran foto, hasil jepretan para fotografer di komunitas mereka.

"Jadi, dia ...."

Bianca menunjuk ke arah Karina, kemudian Fredy. Ekspresi terkejutnya benar-benar berlebihan. Menurut Fredy. Sayang, selain super lebay, Bianca juga menggemaskan, membuat Fredy selalu ingin mengusilinya.

"Hai, Nona Saranghae-Saranghanda. Apa kabar? Dari caramu melihatku, kamu kelihatan kayak orang yang lagi kangen banget sama aku, ya?"

Fredy meraih tangan Bianca, memaksanya berjabat tangan, saat otak gadis itu masih berhamburan di udara saking terkejutnya.

Selanjutnya, saat Bianca sadar, telapak tangannya saling bertautan dengan si gondrong pembawa sial. Dia semakin yakin kalau Fredy itu memang pembawa sial, karena dirinya merasa seolah ada lem maha dahsyat yang menempel di tangannya. Semakin dia ingin melepaskan diri, pesona yang ditawarkan oleh iris coklat pemuda itu semakin menariknya. Tanpa sadar, bukannya marah-marah seperti yang sebelumnya dia tunjukkan pada Karina, sekarang Bianca malah tersenyum.

"Nado saranghae." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Bianca, seolah dirinya baru saja terkena sihir jaran goyang.

'Nado saranghae, aku juga mencintaimu. What! Cinta? Juga? Apa maksudnya?' Sebagian otaknya yang masih cukup waras mulai kelabakan. Cinta? Kesablengan macam apa yang baru saja dia lakukan?

"Gusti Allah!" Bianca menarik tangannya secepat kilat ketika kewarasannya sudah kembali.

"Bi ...."

Gadis itu menoleh ketika Karina memanggil namanya, di saat yang bersamaan, Fredy juga melemparkan pandangannya ke arah suara. Pemuda itu masih menahan senyum akibat kekonyolan seorang Bianca barusan.

Kilat putih menyambut iris kedua anak itu, ketika Karina mengambil foto mereka.

"Perfect!"

"Apaan?" Bianca mendekat, berusaha melihat apa yang dianggap sempurna oleh sahabatnya.

"Kalian. Menurutku kalian adalah pasangan yang sangat sempurna. Liat aja, nggak sengaja dijepret aja udah kayak lagi prewedding, apa lagi prewedd beneran, ya?"

"Amit-amit!" sahut Bianca seraya mengetuk meja.

Berbeda dengan Fredy yang justru mengaminkan. Dalam hati tentunya. Meski dia mengakui, kalau dirinya memang sudah cukup lama tertarik dengan sosok Bianca yang menurutnya unik, tapi pemuda itu memilih untuk bergerak dengan cara perlahan. Lagi pula, jodoh itu urusan-Nya, kan? Kalau memang Bianca berjodoh dengannya, Dia sudah pasti punya cara terbaik untuk menyatukan mereka, melebihi apa yang direncanakan oleh Fredy untuk bisa mendekati gadis itu.

Bianca sendiri seolah masih tak percaya bahwa sahabatnya telah mengenal Fredy lebih dulu. Keterkejutannya itu, membuat dirinya salah tingkah. Berada dekat dengan seseorang yang seolah memancarkan frekuensi yang mengacaukan, membuat hampir saja meraih botol saus sambal untuk diminum.

Barangkali pesona seorang Fredy memang telah meracuni otaknya. Sehingga antara pikiran dan tindakan menjadi tidak sinkron. Otak mengomando ini, tubuh melakukan itu.

Seperti matanya yang Bianca yakin sudah diperintahkan untuk berhenti mencuri pandang pada si cowok gondrong, tapi tetap saja tidak mau menurut. Sementara, ketika tenggorokan haus, tangan yang tak didampingi oleh mata tentu saja mudah tersesat dan mengandalkan indra peraba saja. Jadilah tangan mengira bahwa yang diambilnya adalah gelas minum.

"Serius mau minum itu?" Fredy memelototkan matanya, heran.

"In-ini... ini, aku," jawab Bianca mendadak gagap saat berusaha mencari-cari alasan untuk menutupi malu. Sementara Karina menghentikan sementara kegiatan mengunyahnya karena tak tahan akan rasa geli yang menyerang perutnya seketika. Terlebih ketika sahabatnya melirik tajam kepadanya.

"Tadinya aku cuma mau mengecek, saus ini udah kadaluwarsa apa belum. Hehe. Ya dengan menciumnya kan kita bisa tahu," terangnya dengan sangat gembira karena berhasil menemukan kalimat yang tepat menurut versinya, di saat yang tepat pula. Bianca bahkan menyangka bahwa otaknya sangat jenius dan sudah bisa bekerja dengan normal kembali.

Sambil sesekali melayani pembeli, Ilham melirik mereka bertiga. Dia sangat takut pada awalnya, bahwa pria yang bersama mereka adalah kekasih atau calon kekasih Karina. Tetapi dari mencuri dengar, saking penasarannya, bahan rasa cemburu yang pada tadinya bercokol di hati lenyap seketika. Digantikan dengan sinar yang terbit begitu cerah, secerah kulit Karina yang seolah tak pernah tersentuh debu.



AZZAM (Diterbitkan oleh: Penerbit Lovrinz)Where stories live. Discover now