vii

1.3K 167 18
                                    

Aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik di setiap kesempatan. Entah untuk temanku, saudaraku, keluargaku, termasuk pacarku. Semua orang pasti menyimpan suatu cerita dalam dalam dan akan membukanya di kala yang tepat-atau mungkin terpaksa. Menyimpan cerita sendiri itu berat, cepat atau lambat harus dikeluarkan. Karena jika terus di pendam, segalanya akan terasa buruk dan tidak ada yang mengerti kita. Padahal, kita sendiri yang menutup diri. Mengengkang diri dan tidak membiarkan seorangpun tahu apa yang kita rasakan. Dan pada akhirnya kita akan menyalahkan semua orang karena ketertutupan kita sendiri.

Bercerita tentang hal pribadi kepada orang lain juga menandakan kedekatan kita terhadap orang tersebut. Kedekatan dan kepercayaan. Aku sangat menghargai itu.

Namun untuk Bae Irene-entah kenapa hal itu sangat sulit untuknya. Dia sangat tertutup, mungkin dia adalah orang paling tertutup yang pernah kutemui. Ia lebih suka mendengar dari pada bercerita.

Pada awalnya aku menghargai keputusannya untuk menyimpan ceritanya sendiri rapat rapat. Mungkin dia perlu waktu, pikirku setiap kali ia mengubah topik pembicaraan saat aku menanyakan. Aku menyadari setiap kali ia merasa tertekan ataupun sedih, tapi ia masih tidak mau bercerita. Aku masih menghargai keputusannya. Saat ada hari dimana air wajahnya sama kelamnya dengan langit kelabu-memelukku erat dan mengatakan ia hanya merindukanku meskipun aku tahu ia menintikan air mata dalam dekapanku, ia tetap tidak bercerita.

Sadar atau tidak, she made me feel worse.

Tapi aku lagi lagi tidak memaksanya untuk bercerita. Terkadang kita hanya butuh dekapan hangat ketimbang nemumpahkan cerita, begitulah cara pikirku untuk tetap menghargai keputusan Irene membungkam. Aku tidak boleh egois.

Namun khusus hari ini, aku ingin memaksanya menumpahkan kekelaman yang terbias pada wajahnya. Air wajahnya sangat gelap dan tersiksa, tapi kurva cantik itu masih saja menempel seakan akan aku tidak menyadari akting buruk yang ia lakoni.

Mungkin ia tidak ingin membuatku khawatir dengan koral tajam yang ia lewati. Tapi ini malah membuatku bertanya tanya, Apa dia tidak mempercayaiku? Apa dia tidak ingin aku masuk kedalam kehidupannya? Apa dia menerimaku hanya karena kasihan? Apa hanya aku yang jatuh cinta?

Entahlah, tapi itu membuatku merasa buruk.

"jadi, dimana universitas incaranmu?" tanya Irene sembari meletakan kembali hiasan meja yang berserakan di meja. Nada bicaranya yang terdengar ringan dan biasa saja membuat pikiranku berkecamuk.

Kau bahkan keluar dari sekolah sekarang, kenapa kau tidak memikirkan dirimu sendiri?

"sepertinya aku mau mengambil beasiswa di Australia. Komite sekolah menawarkanku kemarin." aku menatap mimik wajahnya, mengharapkan perubahan pada raut mukanya. Tapi ia malah tersenyum lega.

"dimana? Monash University?" aku mengangguk.

Irene melangkah mendekat dengan senyum lebar tulus yang masih menempek di wajahnya. Kedua netra kecoklatannya menatap lurus milikku. "aku bangga padamu, tidak aku sangka Taehyung-ku akan sesukses ini." ia menepuk bahuku beberapa kali.

Ia terlihat bangga padaku. "kau senang?"

"tentu saja, kau mendapat tawaran beasiswa di universitas top dunia. Siapa yang tidak bangga?"

"lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?" aku menyentuh kedua tangannya, menatap kedua netra cantik itu lamat lamat. "kenapa kau keluar sekolah?"

Wanita itu melepas kontak mata kami-seperti biasanyamelepas tanganku lalu kembali sibuk merapihkan kamarnya. "Tae, bantu aku merapihkan kamar ya?"

Before You Go ✔️Where stories live. Discover now