ix

940 137 7
                                    

Aku sangat menyayangi Irene. Semua orang tahu itu.

Aku adalah si dia yang selalu menyempatkan waktu, tenaga, dan pikiranku untuk orang terkasih. Si dia yang rela keluar malam membeli tteokbokki dan odeng demi rengekan lapar pacar, si dia yang memberikan jaketnya untuk menutupi kaki pacarnya yang terekspos, si dia yang membuatkan playlist Sportify untuk pacarnya-si dia yang rela melakukan apa saja demi orang terkasih.

Ya, itu aku.

Jangan tanya kenapa aku sampai rela melakukan rentetan hal tersebut demi Irene-selain memang ia pantas mendapatkannya. She's a queen. Dia memang bukan keturunan asli darah biru atau part of royal family, tapi ia pantas mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik. Layaknya seorang ratu.

Aku tidak hanya menatapnya sebagai Irene-yang-cantik sebagaimana orang lain menatapnya. Irene memang cantik. Sangat cantik malah. Aku bahkan tidak bisa berkata kata saat pertama kali bertemu dengannya. Apalagi saat mata kami bertemu untuk pertama kali, bumi dan seisinya seketika terasa berhenti bergerak ketika manik cerahnya bertemu milikku.

Tapi ia lebih dari itu.

Irene adalah wanita hebat yang bukan hanya berhasil mencuri hatiku, namun pula berhasil menjadikanku pribadi yang lebih baik.

Dulu aku mempunyai sebuah kebiasaan menjerumus hobi yang mungkin menurut orang sedikit nyetrik bagi banyak orang; Pacar dua hari. Konsepnya adalah aku mengencani wanita hanya dua hari dan setelah dua hari itu aku akan mengencani wanita lain untuk dua hari.

Jahat? Menurutku tidak. Aku hanya terlalu mudah bosan dan tidak bisa menolak wanita wanita yang menyatakan cintanya padaku. Percayalah, sebelum berakhir dengan Irene, skor paling lama aku mengencani seorang wanita hanya seminggu. Sisanya hanya berlangsung beberapa hari atau bahkan beberapa jam.

Namun semuanya berubah ketika aku bertemu Irene. Aku tidak naif yang mengatakan "jatuh cinta padan pada sifatnya" karena memang awalnya aku hanya jatuh cinta pada fisik rupawan Irene. Ia memiliki harga diri yang tinggi, sehingga sulit bagiku untuk mendekatinya pada saat itu. Apalagi saat ia tahu kebiasaan pacar-dua-hari itu. Wanita itu seakan langsung mendirikan benteng kokoh disekitarnya dan tidak membiarkanku menyelinap masuk meski hanya satu sekon.

Banyak perjuangan yang kulakukan demi mendapatkan hati Irene-hingga membuatku yang awalnya hanya iseng mendekatinya menjadi jatuh cinta pada wanita bermarga Bae itu. Wanita itu benar benar berhasil membuatku jatuh kepayang dengan setiap pesona yang menempel padanya. Mengantarku yang tidak percaya akan adanya cinta pertama, jadi mengagung agungkan cinta pertamaku pada Irene.

Menjadikan Irene sebagai kekasihku terasa seperti memenangkan lotre bagiku. Ia tidak hanya cantik, namun pula mengisi segala kekuranganku dan terus mendorongku menjadi orang yang lebih baik. Mengubah Kim Taehyung yang tidak bisa menyelesaikan soal aljabar dasar, menjadi Kim Taehyung yang mendapatkan tawaran beasiswa dari berbagai universitas.

Semuanya berkat Irene.

Jadi, bukan hal besar bagiku untuk melakukan segalanya demi wanita yang berhasil mengubahku hingga pada titik ini. Toh, apa yang ia lakukan jauh lebih besar ketimbang yang aku lakukan.

Tapi pada detik ini, aku agak ingin mengoreksi deep thoughts yang menempel padaku sejak hari pertama aku berpacaran dengan Irene.

Mataku yang masih terasa perih dan berat menatap bingkai samping wajahnya yang tampak tersenyum lebar menatap langit sambil sesekali bersenandung lagu kesukaannya-kutebak itu pasti lagu milik Sam Kim. Kedua tangannya yang berpangku di atas kedua kakinya memegang erat kamera instan keluaran Leica yang sesekali ia elus dengan ibu jarinya. Surai lembut yang biasa ia gerai kini ia ikat tinggi sehingga menampakan leher cerahnya yang selalu ia tutupi.

Ugh, dia terlalu indah. Tapi aku terlalu jengkel padanya.

"aku bisa bolong jika kau terus menatapku seperti itu." suara halusnya mengintrupsiku yang sedari tadi-mungkinmelotot kearahnya.

Aku menghela nafas berat, "bagaimana aku tidak melototimu, Bae Irene. Jika kau menelfonku pukul tiga pagi dengan nafas terengah engah sambil terus berkata "tolong" dan pada akhirnya aku hanya menemanimu stargazing?!"

"astaga, aku harus sekolah pagi ini dan butuh satu jam lagi untuk melihat sunrise!" lanjutku menekan suaraku agar tidak terdengar kencang padanya-dan juga penghuni rumah sakit lainnya karena kita kini berada di rooftop gedung kardiologi.

"aku sangat mencemaskanmu di perjalanan tadi. Ini benar benar membuatku jengkel."

Irene tertawa kecil, "kau tahu therapeutic walk? Aku baca tadi siang katanya therapeutic walk ampuh mengatasi orang yang banyak pikiran sepertimu." ia menunjuk kearah langit yang kelam, "kau lihat bintang bintang itu? Aku tidak yakin kau bisa menikmati pemandangan seperti ini setiap hari."

"just feel, think, and live in this moment. You're not gonna regret it."

Layaknya seekor harimau yang patuh pada pawangnya, aku ikut menatap hamparan bintang berkanvas langit kelam tersebut. Jika dipandang sedikit lebih lama, hamparan bintang bintang tersebut memang sangat cantik. Timbul rasa sedikit sesal di hatiku setelah sedaritadi mengangguri pemandangan seindah ini. Benar kata Irene, aku memang tidak bisa menikmati pemandangan bintang secantik ini setiap hari-ditambah lagi ditemani keberadaan Irene di sampingku. Oh, aku pasti akan menyesalinya mati matian saat menyadari hal ini nanti siang.

"cantik bukan?"

Aku tidak tahu pada hal apa ia merujuk. Entah pada pemandangan langit malam yang indah ini atau pada dirinya sendiri.

Tapi aku tidak ambil pusing akan hal itu, yang jelas kini aku menorehkan senyum tipis lalu berkata, "ya. Sangat indah."

Click!

Sinar flash dari kamera dan suara dari sutter kamera seketika menarikku untuk menatap kearahnya lalu-click!

Flash kembali menghujami wajahku.

Irene tersenyum lega menatap hasil foto instannya yang masih terlihat buram. Ia terkikik pelan, "untung aku bawa dua kamera."

Okay, aku yakin sekali ia hanya membawa satu kamera tadi. Aku pun melihat dengan sangat jelas ia memangku hanya satu kamera tadi. Tapi kenapa sekarang ada dua?

Ah, itu tidak penting. Yang penting adalah tingkahnya beberapa detik yang lalu.

"kau memotretku?" kedua netraku menatap wajah sumringah Irene.

"memangnya kenapa?" Irene balik tanya. "bukannya kau juga sering memotretku?"

"ya, tapi ini terasa sedikit aneh melihat kau malah yang memotretku sekarang, rene. Kukira kau hanya suka memotret langit dan-" aku menunjuk kearah satu kamera di pangkuannya, "sejak kapan kau bawa dua kamera?"

Wanita itu tersenyum singkat padaku, "kupikir melakukan hal baru tidak buruk bagiku, apalagi waktu luangku sangat banyak sekarang." ia menggerakan jubah abu abu yang ia kenakan, "dan untuk apa menggunakan jubah berkantung besar di musim panas jika bukan untuk menyimpan kamera?"

Kedua netraku mentap tingkahnya yang lagi lagi terasa aneh bagiku. Apa dia kurang istirahat makanya ia jadi sedikit aneh seperti ini?"

Aku membuka mulutku sebelum ia mengantungi hasil foto instan itu, "kau tidak mau menunjukan hasilnya padaku?"

Irene mengangguk cepat sembari mengantungi dalam hasil foto tersebut, "ya, memang kenapa?"

"aku modelnya, loh. Aku punya hak untuk melihat hasil-potret-amatirmu."

"well, kau bisa melihatnya nanti."

"kapan?" aku mengangkat alisku penasaran.

Irene tersenyum lebar, "rahasia!"

Baru saja aku ingin menyerocos padanya, ia kembali membuka bibir. "ajari aku mengambil potret yang bagus ya? Aku akan memperlihatkan semua hasilnya jika skill-ku sudah PRO."

Aku mengangkat kedua alisku tinggi tinggi, "all of sudden?"

"all of sudden."

Before You Go ✔️Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ