xxiv

994 115 9
                                    

Dengan ditemani hamparan ombak dan angin laut yang melukis wajah, aku menatapnya yang termangu tepat di sisiku. Dua pualam yang tidak ada habisnya aku puja melepas pandangannya sejauh mungkin. Menatap berlian berkilauan yang terpantul oleh mentari.

Dulu aku pernah mendengar seseorang mengatakan padaku, riasan paling cantik yang wanita gunakan adalah polesan kurva senyum pada bibir merona mereka. Dan aku menyetujui hal itu, ia tampak luar biasa dengan riasan tersebut.

Seakan terusik dengan kehadiranku yang terus meniti wajah cantiknya, ia menyeret pandangannya padaku. Di bawah bulu matanya yang lentik dan dengan pualam cantik yang meneduhkan sekaligus menggairahkan, ia menatapku sejenak sebelum kembali melepas pandangannya pada hamparan ombak di hadapannya.

"Para malaikat bilang, saat hari kasih sayang tiba kau memberikan sesuatu padaku. Mereka bilang, itu adalah sesuatu yang besar." ucapnya tanpa menoleh padaku.

Aku mengangguk kecil, "Begitulah, sebelum datang ke tempat ini aku memberikanmu sesuatu. Sepertinya kau sudah lupa mengingat memori otakmu sangat terbatas." ucapku bergurau yang dibalas desisan tipis olehnya.

"Sudah berapa lama kau di sini?"

"Di keabadian?" aku mengira sebentar. "Sepertinya tujuh tahun. Kau tahu kalau aku selalu menunggumu di sini, bukan?"

Ia berdeham kecil, "Senang rasanya kita bersatu kembali." selanjutnya, ia menolehkan wajah cantiknya padaku. Membiarkan angin laut yang menyegarkan membawa tari untuk surai halusnya. "Omong-omong, kau belum bilang hadiah apa yang kau berikan padaku. Katakan, apa itu cinta?"

Senyumku terulas mendengarnya. Satu tanganku bergerak meraih merapihkan anak-anak surai yang menari akibat angin. Selesai menyampingkan surainya ke belakang telinga, aku memajukan tubuhku padanya. "Jika kau pikir cinta dan segalanya adalah hadiah terbesar yang pernah kuberi untukmu, kau salah besar. Aku memberikan satu-satunya dan segala yang aku miliki untukmu. Itu adalah hadiah terbesarku sebelum menuju ke sini, sayang."

"Then, what is that?"

Dan tepat di samping telinganya, aku berbisik. "My heart."

**

"Kau masih belum berniat menceritakan segala yang kau tahu padaku, Na Jaemin?"

Lelaki bersurai harum manis itu tidak menjawab. Seluruh indera yang ia miliki tertuju pada satu titik, yaitu kakiku yang terluka. Dengan sangat sabar dan telaten, Jaemin mengobati luka yang datang dari antah berantah itu. Sekilas, dia tidak terlihat seperti Na Jaemin yang aku kenal. Atau bahkan mungkin memang tidak aku kenal?

Na Jaemin, lelaki yang masih duduk dibangku menengah pertama yang kukenal dari lorong rumah sakit-adalah Na Jaemin yang sangat ceria. Penuh dengan tawa dan juga senyum. Aku tidak tahu berapa banyak pasang jaket dan celana training keluaran Adidas yang ia miliki, namun aku selalu menemukannya menggunakan pakaian tersebut. Suaranya masih pecah, persis sebagaimananya seorang remaja menginjaki umur pubernya dan dengan suara puber itu, ia selalu mengajakku bermain game online di ponsel maupun di internet cafe sampai-sampai sesekali aku berpikir-kapan bocah itu menyentuh buku pelajarannya? Argh, tidak peduli. Karena yang aku pedulikan adalah Na Jaemin bagaikan sesosok mentari yang menyinari sekitarnya dan berani mempertaruhkan segalanya untuk nenek tercinta.

Itu adalah Na Jaemin yang aku kenal.

Namun yang berada di hadapanku-benar-benar membuatku berpikir, apakah memang dia Na Jaemin kita? Lelaki ini menggunakan sweater biru kelam yang dilapisi jas putih ala kedokteran di luarnya. Surai legam yang biasa aku lihat itu kini berubah warna menjadi merah muda-persis seperti harum manis. Dan senyuman hangat yang selalu terpantri pada bibirnya, sama sekali tidak tampak terbit di sana.

Before You Go ✔️Where stories live. Discover now