30; Bebas

33.9K 1.9K 41
                                    

"Saya ingin meminta izin Om ada urusan dengan Maura, tentang kerjaan." jawab Devan melepas tatapan intimidasinya kepada Aldo.

Maura yang berdiri agak jauh dari ruang tamu, bersedekap. Tidak ada yang menyadari keberadaannya. Berani-beraninya Devan menunjukkan tampangnya di rumah Maura, sedangkan gadis dari rumah ini ingin menghindar darinya.

Ayah menengok ke Aldo, "Kalian rekan kerja juga kan?" lalu menatap Devan.

Devan tersenyum, "Iya Om, dia yang menaruh saham di perusahaan saya," Devan melanjutkan, "Ada Mauranya Om?"

"Dia lagi tidur." jawab Aldo.

Mata Devan kembali ke Aldo, "Pak Aldo ada urusan juga dengan Maura? Saya menunggu anda di kantor ternyata anda ke sini," sindirnya.

"Ada urusan lebih penting Pak, orang tua dari pacar saya ingin berkenalan dengan saya," balas Aldo.

Maura terkesiap mendengar jawaban dari Aldo.

Devan merasakan panas yang bergejolak di dadanya, ia menetralisir dirinya dengan cepat, menyembunyikan ekspresinya yang tidak senang, "Oh selamat ya Pak, baru pacaran hari ini ya? Soalnya setiap hari saya yang antar jemput pulang Maura, setiap hari Maura bersama saya."

Aldo mengepal tangannya, ia ingin membalas tapi suaranya terpotong Ayah Maura,

Ayah Maura mengerutkan alisnya, "Baru pacaran? Anak saya bilang dia sudah punya pacar dari minggu lalu,"

Devan mendahului Aldo yang ingin berbicara, "Oh tidak Om, mereka berdua baru pacaran. Selama ini Maura galau terus terhadap saya Om, tapi dia diam-diam saja. Kalau dia bilang pasti saya langsung lamar hari itu juga Om," jawab Devan dengan berani, "Saya permisi dulu ya Om, ternyata Mauranya tidur, kapan-kapan saya ke sini lagi. Selamat malam Om," Devan menundukkan kepalanya sedikit bermaksud pamit, mata Devan lalu menatap Aldo, "Saya duluan, Pak Aldo." dan dengan begitu ia pergi dari hadapan mereka.

Maura yang sedari tadi mendengar itu semua, benar-benar membuatnya tidak bisa berkata-kata dan perasaannya semakin campur aduk terhadap Devan. Ia tidak mengerti lagi harus bagaimana pada Devan, Maura benci. Maura tau sehabis ini Ayahnya pasti akan marah besar padanya karena sudah berbohong hanya untuk menghindari perjodohan ini, air matanya langsung terjun bebas dan ia langsung berlari ke kamarnya. Melempar ponselnya ke tembok.

-

"Maura, kamu gak kuliah sayang?" teriak Bunda di luar kamar Maura sambil mengetuk-ketuk pintu.

Maura membuka matanya perlahan, cahaya langsung menyambar ke kornea matanya, setelah setengah sadar ia langsung disambut sakit kepala yang luar biasa, kepalanya berdenyut. Sepertinya ini efek dari menangis semalaman.

"Maura???" Bundanya tidak berhenti memanggilnya.

Ia menengok ke jam dinding, tidak menyangka sudah jam sembilan, ia pun langsung beranjak untuk membuka pintu, ia membuka pintu sedikit untuk berbicara dengan Bundanya, "Aku gak kuliah dulu ya Bun, kepalaku pusing," keluhnya.

Bundanya kaget melihat mata Maura yang bengkak, "Astagfirullah, mata kamu bengkak banget Ra, kamu nangis? Nangis kenapa?" Bunda menarik tangan Maura untuk keluar kamar, Bunda bahkan menariknya sampai ke ruang tamu.

Maura kali ini harus jujur, ia benar-benar tertekan dengan perjodohan ini, "Bunda, aku gak mau dijodohin, aku gak mau nikah, aku mau nentuin pilihanku sendiri," jujurnya menangis lagi.

Bunda menatap anaknya ironi, tidak tega melihat anak gadisnya yang sangat cantik ini tertekan sampai menangis seperti itu, Bunda menghapus air mata Maura, "Tenang ya sayang, semalam pacar kamu bicarain ke Ayah dan Bunda tentang kamu yang ingin dijodohkan," Maura mendengarkan dengan serius, "Dia dengan beraninya ceramahin Ayah kamu tapi dengan cara dia yang sopan dan untungnya pacar kamu berhasil luluhin Ayah kamu yang keras kepala, perjodohan ini gak berlanjut sayang, Ayah udah nyesel katanya nanti malem mau ajak kamu sama Abel jalan-jalan, sekalian Ayah mau minta maaf sama kamu, Ayah sayang banget sama kamu Ra, dia nyesel banget katanya anak gadisnya dipaksa untuk dijodohin," Bunda tersenyum hampir tertawa mengingat Ayahnya yang menyesal.

Mr. MelvianoWhere stories live. Discover now