Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah #6

5 0 0
                                    

"Mau kemana neng?" kata supir angkot.

"Ke Pemancingan bang," kata Lusi dengan nafas yang belum teratur.

"Pemancingan mana neng?"

"Pemancingan yang ada ikannya bang."

"Semua pemancingan ada ikannya kali neng."

"Ada bang pemancingan yang gak ada ikannya."

"Pemancingan mana neng? Dimana-mana pemancingan pasti ada ikannya," balas supir angkot tidak mau kalah.

"Pemancingan air panas."

Hening. Lusi diam menunggu respon si supir dan si supir juga memasang wajah yang sedang berpikir keras. Mungkin dalam pikiran si supir sekarang sedang berkata, "Ini bocah dari planet mana sih? Kok nyebelin banget."

"Hahahaha... Itu pemandian Lus, bukan pemancingan," kataku dengan kalimat yang diawali dengan tawa formalitas.

"Hahahaha... Kamu tau aja Daf." Lusi ketawa sungguhan.

"..........." Supir angkot tetap diam, berniat tertawa pun sepertinya tidak. Bahkan kumisnya yang melintang di atas bibir layaknya jembatan Suramadu, tidak bergeming sedikitpun.

"Yaudah bang, yang terdekat aja dah yang penting," sambung Lusi.

"Oke deh neng."

Lusi bergegas masuk ke dalam angkot. Sedang aku masih terdiam memandang tangga masuk ke angkot. Bukan, bukan karena tangganya kotor, berkarat atau karena bingung kenapa motif tangga angkot gitu-gitu aja. Tapi aku bingung aja kenapa ke pemancingan? Kan biasanya ke warung es oyen atau tidak ke warung bakso beranak.

"Daf, jangan bengong aja. Ayo naik," ajak Lusi yang sudah berdiri tepat di pintu angkot.

"Aku belum pernah ke pemancingan Lus. Aku tidak bisa memancing, nanti malah membosankan disana."

"Sudah, gak apa-apa. Kamu kan belum coba, mana bisa nyimpulin kalo bakal bosan."

"Ayok naik Daf." Sambung Lusi sambil menunduk dan mengulurkan tangan.

"Oke. Tapi, sebentar saja ya." Aku pun meraih tangan Lusi.

"Iya Daf," jawab Lusi disertai senyum yang ramah.

Eskalasi Rasa dalam Sebuah RumahWhere stories live. Discover now