Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah #7

5 0 0
                                    

Setengah jam di pemancingan, kami tidak kunjung dapat apa-apa selain lelah. Belajar dengan Lusi yang tidak begitu paham benar bagaimana memancing, memang tidak dapat memperbaiki suasana. Yang kami lakukan sejak tadi hanya mengayun tongkat pancing yang kami sewa. Kail dan umpan melambung jauh tapi, itu tidak menjamin kami akan mendapat ikan.

"Lus, dari tadi kita hanya pasang umpan, lempar, umpannya hilang di air, tarik, pasang umpan lagi, lempar lagi, terus hilang lagi dan begitu seterusnya."

"Sabar, mancing itu harus sabar," kata Lusi dengan santainya.

"Ya aku tahu Lus, tapi aku sudah tidak tahan dengan bau tanganku sendiri yang dari tadi berurusan dengan umpan ini."

"Hahaha... gak apa-apa. Ini itu mainan laki-laki tau. Laki-laki kuat bau."

"Oh gitu? Jadi tukang sedot tinja adalah pekerjaan paling jantan di dunia ini?"

"Oh salah Daf. Yang bener KPK."

"Kok gitu?"

"Kan bau korupsi lebih busuk dari tinja."

"Hahaha... pintar kamu Lus."

"Eh ngomong-ngomong Ana apa kabar Daf?"

Aku tidak suka dengan pertanyaan Lusi yang satu ini. Aku sedang duduk bersandar di gazebo pemancingan, menunggu ikan yang tidak kunjung melahap umpan, umpan hanya larut dalam air dan akhirnya menghilang dan sekarang yang muncul bukan ikan, malah pertanyaan tidak penting dari Lusi.

Eskalasi Rasa dalam Sebuah RumahWhere stories live. Discover now