Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah #11

4 0 0
                                    

Tulis dan tulis. Coret dan coret. Satu halaman hampir penuh oleh isi surat cinta. Terus sampai di baris terakhir dan selesai. Tinggal tulis nama pengirim.

"Sudah selesai Lus."

"Mana Daf? Coba liat," kata Lusi sambil menarik suratnya.

"Coba baca, menurutmu udah cukup bagus belum?"

"Oke, bentar aku baca dulu." Lusi menatap surat itu sebentar, lalu mem-bacakannya dengan suara pelan.

"Na, jika hubungan kita ini adalah sebuah rumah, kita lah penghuninya. Dekorasi rapi, warna putih, bersih, tulus, seperti bagaimana kita memulainya. Warna-warna material kayu menghias langit-langit dan perabot rumah. Pintu-pintu kaca menghadap taman-taman yang indah, natural seperti pertemuan kita. Dinding-dinding dihiasi foto-foto kenangan kita. Ada satu foto yang paling kusuka, saat dimana aku pertama kali melihatmu di depan kantin sambil makan mie ayam kesukaanmu. Disitu waktu terasa terhenti, orang-orang disekitarmu menjadi samar, dan gelas es tehku yang kosong menjadi penuh lagi.

Ruang tamu, ruang favorit kita. Kita berbincang, bertukar pikiran, bahkan membicarakan orang lain he.. he... sangat menyenangkan. Sebuah sofa dan meja tempat kita menghabiskan waktu, minum teh, dan mengisi buku harian.

Tapi sekarang rumah itu sepi. Kau sudah tak lagi ada disana. Semua karena kesalahanku, tak dapat membicarakan masalah dengan baik-baik. Aku termakan emosiku sendiri, lalu kau bersedih. Rumah kita waktu itu diisi oleh dua orang yang saling diam, tidak tau harus berbuat apa. Aku kemudian sadar pada apa yang telah aku lakukan dan mencoba untuk memberi penjelasan atas apa yang terjadi. Lalu, kau hanya tersenyum pahit dan pergi meninggalkan rumah kita.

Eskalasi Rasa dalam Sebuah RumahWhere stories live. Discover now