Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah #4

8 0 0
                                    

Aku hanya melihat Lusi terbahak-bahak mengejekku seenaknya. Saat tertawa, rambutnya yang sebatas leher bergerak kesana kemari, bibirnya tersenyum lebar, tangannya mendorongku pelan berulang-ulang dan matanya berkaca-kaca hampir-hampir meneteskan air mata.

Dia memang suka seenaknya sendiri. Untungnya dia temanku yang jujur, apa adanya, tidak palsu, terbuka tanpa ada hal yang ditutupi. Semua mengalir saja jika bersama Lusi. Dia teman yang baik untuk seorang apatis sepertiku.

"Cabut yuk!"

"Ini akan jadi yang ketiga dalam minggu ini Lus."

"Gak apa-apa kali Daf. Mumpung nanti jam kosong."

"Tapi, besok ulangan. Lebih baik kita pakai jam kosong nanti untuk..."

"Bentar aku ambilin tasmu," katanya sambil lari kecil membelakangi dan menjauh dariku.

Punggung Lusi pelan-pelan mulai samar terlihat dari pandangan. Dia berbelok ke kelas tergesa-gesa kegirangan. Percuma menyusun pendapat sedemikian kongkret untuk membantah ajakannya. Dia hanya akan membantah-nya dengan ketidakpedulian dan pemaksaan yang tak bisa ditolak. Lalu dibumbui dengan sebuah ajakan yang cukup menggiurkan. Bolos.

Eskalasi Rasa dalam Sebuah RumahOù les histoires vivent. Découvrez maintenant