Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah #13

5 0 0
                                    

"Dafa?" Wajah Ana terlihat bingung dan sedikit kaget.

"Eh, Ana." Aku pun kaget juga.

"Ada apa ya Daf?"

"Ada anu, tadi habis bolos ke pemancingan." Dan keceplosan.

"Bolos? Kamu tadi bolos?"

"Nggak itu anu Na anu, emmm kamu mau kemana?"

"Ke warung depan gang, mau beli gula. Kamu sendiri, ada perlu apa tiba-tiba kesini Daf?"

Sumpah, semua rencana yang tadi disusun dalam angkot sama sekali hilang dalam kepalaku. Sekarang kami berhadapan dan saling menatap. Kakiku yang tadinya bergetar, sekarang jadi kesemutan dan tanganku yang tadinya berkeringat sekarang mulai kaku.

"Aku kesini sebenarnya mau minta maaf Na."

"Maaf untuk apa?"

"Untuk kesalahan yang sudah aku buat Na."

"Yaudah gak..."

"Bentar-bentar aku punya sesuatu buatmu," kataku sambil membuka tas lalu memberikan suratnya kepada Ana.

"Ini apa?" Ana heran.

"Baca aja dulu," kataku sambil memandang surat yang kini siap Ana buka.

"....." Ana diam membaca surat itu dalam hati. Beberapa saat aku melihat dia tersenyum. Lalu beberapa saat aku lihat dia mengernyitkan alisnya. Proses Ana dalam berusa mencerna isi surat itu terlihat cukup jelas dari wajahnya.

"Gimana Na?"

"Aku suka sama isi suratmu. Kamu makin jago ya Daf dalam merangkai kata-kata," katanya sambil tersenyum.

"Iya makasih Na. Hehe," kataku sambil nyengir.

"Tapi maaf Daf, aku sudah gak bisa hadir di rumah yang kamu maksud di surat ini. Aku hanya tamu sekarang di rumahmu itu. Aku bukan pemiliknya lagi Daf. Kamu jaga baik-baik rumahmu itu, dan buat kenangan baru bersama dia yang lebih membutuhkan."

"I.. Iya Na."

Aku berbalik dan berjalan menuju angkot. Aku membawa surat tadi, Ana sudah tidak peduli denganku, begitu juga dengan suratnya. Aku masuk ke angkot. Duduk disebelah Lusi dengan tatapan kosong.

"Daf, boleh aku aja yang menemanimu di rumah itu?" kata Lusi dengan pandangan penuh empati sambil tersenyum

"Maksudnya Lus?"

"Iya Daf, aku mau jadi orang yang selalu menemanimu di rumah yang kau maksud itu. Membantu membersihkannya, mencetak foto-foto kenangan bersama, mengisi buku harian..."

Lusi terus mengutarakan isi hatinya selama ini. Sedangkan aku hanya melihat wajahnya tanpa fokus pada apa yang dia bilang. Dia temanku selama ini orang yang paling aku percayai, orang yang kuanggap tidak pernah menyembunyikan apapun dariku sekarang malah seperti ini. Penyesalanku sekarang bertambah. Tekanan dalam kepalaku hari ini berlipat-lipat rasanya. Aku kembali menyesal. Menyesal telah memilih dia sebagai temanku. Sebuah rasa sesal yang sangat manis selama hidupku.

Lusi terlihat lega telah mengutarakannya, namun wajahnya menjadi sedikit khawatir akan respon apa yang akan aku sampaikan kepadanya. Lalu aku hanya tersenyum. Begitu juga dengan supir angkot yang sedari tadi menguping kami.

Sungguh hari yang penuh dengan sesal yang tak biasa Lusi. Entah hal apa saja yang kau sembunyikan selama ini.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 16, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Eskalasi Rasa dalam Sebuah RumahWhere stories live. Discover now