Part 3. All About The Money

1.1K 234 127
                                    

Aku tebak sebenarnya kau orang yang hangat, tapi entah untuk tujuan apa kau harus mengenakan topeng itu, Tuan.

❄❄❄

Semalaman tadi, Seoli tak kunjung jatuh tertidur. Memikirkan semua hal yang mendera akhir-akhir ini. Mungkin ini yang dinamakan titik terendah di sepanjang hidupnya. Ia merasakan miris bukan main saat bertanya-tanya, mengapa kali ini berkaitan erat dengan kondisi finansialnya. Konon menurut para kaum jetset, bahagia bukan melulu soal uang semata.

Tapi sekarang ini apa?

Netranya beredar pada ruangan sempit tempat Seoli menaruh sisa waktu setiap harinya. Rumah tua yang listriknya baru saja diputus itu satu-satunya peninggalan dari ibunya yang sudah tiada.

Belum lagi air yang juga sudah tak mengalir, menjadi bukti nyata jika Seoli bahkan tak bisa membayar tagihan-tagihan rumah tangganya sendiri. Pikiran gadis itu menjadi bias, antara mimpi dan kenyataan. Haruskah ia berhenti membuat kue-kue cantik itu, dan menyerah pada realitas keharusan mencari sumber untuk memenuhi pundi-pundinya? Sehingga ia dapat melanjutkan hidup, setidaknya boleh berharap untuk menjalani hari esok.

Kue-kuenya habis terbeli pun nyatanya tak dapat menyelamatkan keberlangsungan hidupnya begitu saja. Ada kebutuhan modal yang harus ia kumpulkan dan itu bukanlah sedikit berkat memegang prinsip kualitas di atas kuantitas.

Bolehkah aku menjual rumah ini, Ibu?

Seoli terlalu lelah hanya untuk menangis. Maka paginya--- tepat pukul tujuh--- gadis itu sudah berpakaian pantas. Mendekap tubuhnya sendiri yang bergemetaran, hanya demi menuju ke sebuah bilik telepon umum berwarna merah pudar cenderung keabuan di ujung jalan.

Wanita yang nekat tak mengenakan syal itu merogoh saku mantelnya. Kedua mata cokelat itu terpaku pada sebuah kartu nama dan tangannya sudah bergerak memasukkan uang koin ke lubang kecil di sudut atas mesin telepon umum.

Menunggu jawaban di seberang, jantungnya pun ikut berdegup kencang.

"Yeobseo."

Ah, mendengar suara beraura dingin itu otomatis membuat Seoli meremang. Namun hatinya sudah tetap tanpa bergoyah sedikit pun. "Se-selamat pagi, Tuan. Ini aku, Kim Seoli."

"Siapa kau?"

"Hm, kita bertemu kemarin malam. Tuan membeli semua kue yang kujual. Apa Tuan mengingatnya?"

Hanya senyap yang gadis itu mampu dengarkan. Sekali ia menjauhkan gagang telepon, lalu meneliti layar kecil di mesin untuk memeriksa sambungan belum terputus.

"Maaf Tuan, apa lowongan pekerjaan di sana masih berlaku untukku?" Pikir Seoli, dia harus bisa mengamankan kesempatan itu sebelum jatah menit teleponnya habis.

"Hm, mungkin saja masih."

Dahi gadis itu mengernyit kebingungan. Apa maksud pria itu? Sudah lupakah jika tadi malam ia sendiri yang menawari pekerjaan untuk Seoli?

"Datang saja langsung. Aku sedang sibuk," ucapnya tak acuh.

Hatinya mendadak terasa seringan bulu-bulu angsa. Dengan sangat antusias, Seoli mengucap, "Baik, Tuan!"

Lalu terdengar nada sambungan telepon diputus oleh pihak lawan bicaranya. Gadis itu berdecak, mencoba untuk memahami si pemilik suara yang bernada miring tadi.

***

Tak butuh waktu lama, Seoli sudah berdiri mematung tepat di depan pintu kaca. Stiker putih berbentuk ornamen pada permukaan kaca membuat Seoli kagum pada kedai itu.

Snowy Miracle (✔) [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang