DELAPAN BELAS

88K 4.4K 78
                                    

Bodoh! Bodoh! Bodoh kamu Inne!

Hardik Inne dirinya sendiri sedari tadi dalam batin, dan hatinya.

Inne merasa dirinya sangat bodoh kalau gunting tajam nan mengkilat tadi  menggores dalam pergelangan tangannya, membuat ia mati konyol, dan berlumur dosa, dan mereka....mereka yang membenci, tak menginginkannya bahkan berharap ia lenyap dari muka bumi ini, siapa lagi kalau bukan kedua orang tua Athar, Sabira, dan atau  mungkin Athar juga akan tertawa senang, mengetahui ia telah mati. Mati konyol karena bunuh diri, karena merasa hidupnya akan aman. Aib anak haram yang ia kandung tidak capek-capek lagi laki-laki itu mengancam dirinya lagi untuk menyembunyikan anak mereka dari dunia. Menyedihkan, dan Inne bersumpah akan bangkit, kuat, dan membuktikan kalau ia mampu melewati masa-masa menyesakkan yang menyapa telak dirinya saat ini. Menggulirkan, dan mengganti rasa sesak, sakit hatinya menjadi rasa bahagia tak terkira nanti. Ada anaknya yang akan menguatkannya.

Hidup tidak selamanya di selimuti oleh kabut hitam, bukan? Akan ada kalanya ia bahagia, bahagia sampai ia menangis suatu saat nanti. Allah itu maha adil! Inne meyakini hal itu, sangat meyakini hal itu mulai dari sekarang.

Pergelangan tangannya yang tergores, membuat darah segar sempat menetes, dan mengotori kedua paha, tempat tidur, dan beberapa bagian lain dari lantai rumahnya. Karena kebodohannya!

Satu kali gesekan, berhasil. Tapi, disaat Inne ingin menggesek pergelangan tangannya dengan tekanan yang sangat kuat agar luka yang ia hasilkan dalam. Wajah seorang anak laki-laki tampan, sangat tampan yang menyerupai, dan sangat mirip dengan laki-laki itu (Athar), menangis meraung di depan kakinya.  Memeluk kedua pahanya erat dengan kepala mungilnya yang tenggelem di depan pahanya, membuat paha ia terasa basah saking deras, dan banyak air mata anak kecil itu mengalir.

Jangan mama! Jangan mama! Jangan mama! Aku mau melihat dunia! Aku mau melihat wajah mama! Aku mau melihat wajah ayah!

Teriakan-teriakan di atas, di teriakan dengan suara putus asa, dan penuh  harap, dan mengiba oleh seorang anak laki-laki yang tingginya baru sepaha Inne.

Kedua mata Inne yang memejam erat, spontan terbuka, dan tangannya yang memegang gunting dengan kuat di buang sembarang oleh Inne. Tanpa memedulikan darah yang mengalir dari pergelangan tangannya, Inne melompat dari atas ranjangnya, sebisa mungkin untuk segera sampa ke rumah sakit.

Inne tersadar, ia bodoh, dan untung ada calon anaknnya yang pintar.
Anaknya mendatanginya, dan menyadarkannya dengan tangisan, dan ucapan penuh mohon yang menyayat hati Inne.

Demi Tuhan, mungkin mereka akan tertawa karena kebodohannya, kalau ia mati, mati karena membunuh dirinya sendiri.

"Kalau ibu masih merasa pusing, dan lemas. Ibu berbaring saja dulu. Darah ibu yang keluar lumayan banyak tadi."

Lamunan panjang Inne buyar, oleh seorang suster yang memang datang untuk mengontrol keadaannya, memeriksa infusnya, laju tetes infus yang masuk ke dalam tubuhnya.

"Saya sudah tidak pusing lagi, Suster."Ucap Inne pelan, dan memperbaiki posisi duduknya.

Wajahnya terlihat meringis,  di saat dengan tak sengaja ia menyenggol lukanya yang sudah di perban rapi oleh dokter.

"Ibu menginap dulu disini selama satu atau dua hari. Sampai kesehatan ibu pulih betul."

Inne hanya mengangguk, tapi kedua bola mata cokelat terangnnya terlihat meneliti ke setiap sudut kamarnya.

Ia melupakan orang yang menolong ia di tengah jalan tadi, yang mengantar ia sampai rumah sakit dengan selamat.

"Suster..."Panggil Inne tak sabar.

"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Ibu ingin ke kamar mandi?"tanya sang suster ramah.

"Pemuda yang kurus kering,  yang bawa saya kesini tadi, mana, sus?"

"Saya ingin berterimah kasih padanya."Ucap Inne menatap penuh harap, pada sang suster. Berharap suster itu tau dimana laki-laki usia 17 atau 18-an tahun yang sudah menolong ia di jalan tadi.

"Adek tadi sudah pergi bekerja, Bu.  Katanya dia akan datang lagi nanti sore. Ia bekerja sebagai kuli yang membangun rumah susun di wilayah Sekarsari. "Beritahu suter itu, sesuai pesan yang di tinggalkan oleh pemuda tadi.

Inne hanya menganggukan kepalanya singkat. Inne terlihat tengah  merenung, dan berfikir saat ini.

Berfikir, kenapa pemuda tadi selalu menggumam, dan memohon maaf padanya di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.

Siapa dia? Siapa pemuda kurus tinggi itu?

Kenapa ia meminta maaf? Maaf untuk apa?

Tbc!

Ada yang tau, siapakah yang menolong Inne?

11-12-2019-22:31

Akan aku usahakan dobel, up...kalau nggak jadi. Besok pagi akan aku up lagi. Besok aku libur, btw....semoga aku up berkali-kali utk besok😆😊

DIA ANAKKU! RepostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang