12. Benar-Benar Sekolah

461 82 68
                                    

"Enggak, bukan seperti itu konsepnya. Rena bocor banget mulutnya. Ngoceh mulu. Enggak ada rem. Tapi yang bikin aku bingung tuh, Yuha percaya saja sama ucapan Rena. Biasanya enggak percaya. Ada gosip gitu-gitu pasti ditertawakan sama dia. Baru kali ini Yuha percaya." Dikey antusias menceritakan. Kesalahpahaman Yuha ternyata berlanjut lagi hingga jam istirahat pertama tadi. Sampai rencana Dikey untuk mendatangi Joshua di kantin jadi terpaksa diurungkan. "Josh, coba kamu bayangkan. Kami berdua sudah sahabatan lama. Dari SMP. Ke mana-mana bareng, seperti anak kembar. Walaupun begitu masuk SMA aku lebih sering main sama kamu. Aneh enggak sih kalau jadi pacaran? Aneh kan yah? Aku kira Yuha bakal ketawa begitu dengar ucapan Rena. Eh malah percaya. Aku sudah bilang kalau Rena itu cuma bercanda. Aku enggak punya niatan sama sekali buat ngajak cewek kencan. Ya otomatis termasuk dia. Malah ditagih. Pusing deh."

Kaki Dikey berbelok ke kanan, kaki Joshua ikut berbelok ke kanan. Kepala tidak pernah terangkat. Terus menunduk, ikut ke arah mana pun kaki Dikey melangkah. Tentu bukan tanpa sebab. Joshua sungguh merasa risi karena terus diperhatikan adik kelasnya.

Kaki Dikey berhenti, otomatis Joshua pun ikut berhenti. Mendongak. Mengira mereka berdua telah sampai di kelas tujuan. kelas 11 IPA 3. Kening Joshua mengerut. Kelas yang rencananya mereka datangi adalah kelas 11 IPS 2, bukan kelas 11 IPA 3.

"Dik?" tegur Joshua.

Yang ditegur menyengir. Ambil tangan Joshua. Ditarik. Jalan lagi. "Habisnya aku cerita panjang lebar enggak ditanggapi. Aku curhat tadi didengerin enggak?"

Joshua mengangguk. Akhirnya kepala Joshua tidak menunduk lagi. Jadi sedikit lebih berani melawan tatapan aneh adik kelasnya yang kebetulan berkeliaran di sekitar lorong. Sekarang memasuki jam istirahat kedua.

"Kalau begitu, bagaimana tangapannya? Aneh, kan?"

"Justru aneh kalau kamu enggak ngerti."

Langkah mereka terhenti lagi. Tapi kali ini karena memang sudah berada di depan kelas 11 IPS 2. "Kok malah aku yang disalahin?" protes Dikey.

"Yuha suka sama kamu. Justru aneh kalau persahabatan cewek-cowok enggak ada bumbu cinta. Mustahil. Kalau kamu enggak, pasti dari pihak sebelah."

"Kalau persahabatan cowok-cowok, bakal ada bumbu cinta juga, enggak?"

Joshua spontan mengangkat tangan kanan. Siap melayangkan hantaman. Tidak kalah cepatnya pula Dikey menghindar.

"Dih, galak..." Dikey pura-pura merajuk.

"Harusnya kamu senang ada yang naksir. Jangan sok jual mahal. Yuha cantik gitu. Kalau dilihat, pintar juga. Harusnya dia yang protes kenapa bisa suka sama kamu."

Dikey menukik bibir ke bawah. Mengerjap. Ucapan Joshua pasti akan menghantuinya selama beberapa hari ke depan. Alihkan perhatian adalah cara terbaik. Menegur kakak kelas yang baru saja keluar dari ruang kelas. "Eh Kak, maaf. Ada Kak Hosh, enggak?"

"Hoshafwy Nabhan? Si sipit? Cina Gadungan?" tanyanya, memastikan. Melihat Dikey mengangguk, ia menunjuk ke kursi belakang. "Ada tuh, masuk saja langsung."

"Beneran enggak apa? Makasih, kak."

"Sopan banget, tapi sama aku enggak," tegur Joshua. Pelan, tapi berhasil didengar oleh Dikey dengan baik. Membuatnya tertawa. "Padahal aku lebih tua dari kamu 2 tahun."

"Aku enggak mau jelasin alasannya lagi. Alasan kemarin masih berlaku kok." Dikey mendahului. Masuk ke kelas 11 IPS 2. Karena sudah membuat janji sebelumnya, mereka tidak berbasa-basi lagi. Menyerahkan formulir pendaftaran lomba kepada Hosh.

Dikey puas begitu formulir pendaftaran itu sampai di tangan salah satu panitia lomba. Tidak sia-sia ia menghabiskan uang 20 ribu dalam berupa cilok hanya untuk memberi sogokan ke adiknya Joshua dan 2 orang temannya. Vernon, Kwan, dan Dino. Tidak sia-sia juga dia pulang terlambat untuk mendatangi rumah Joshua. Sempat dimarahi Papanya Joshua pula. Sekarang, tugasnya hanya satu. Meyakinkan Joshua kalau lomba ini tidak akan membuatnya menambah kenangan buruk selama berada di SMA.

Fight The World (✓)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें