14. Keluar dari Jurang

634 83 79
                                    

Seumur hidup Joshua, ini adalah pertama kalinya ia bermain gitar di hadapan banyak orang. Bahkan sebelum pindah ke Indonesia pun, Joshua hanya menunjukkan kemampuan bermain gitarnya di hadapan sang adik. Juga di depan kedua orangtua, tentu saja. Menggiring Vernon yang sedang menyanyikan lagu anak-anak.

Mengingat fakta tersebut, bukankah sangat wajar jika sekarang Joshua merasa sangat gugup?

Joshua mempertemukan kedua telapak tangannya. Digosok-gosokkan. Berusaha meminimalisir rasa gugup. Keringat dingin mengucur deras hingga tangannya terasa licin. Joshua takut. Juga khawatir. Pikiran negatif terus bermunculan. Berprasangka bahwa tangannya yang licin ini akan menghancurkan permainan gitarnya di atas panggung nanti. Lalu membuat Joshua semakin jatuh terpuruk karena telah bermain gitar dengan cara yang buruk.

Tidak hanya mengkhawatirkan nasib diri sendiri, Joshua pun mengkhawatirkan bagaimana kisah kehidupan Dikey di sekolah selepas acara ini berakhir. Karena Joshua yang gagal bermain gitar dengan baik, anak sok jagoan itu akan ikut tersungkur dalam jurang yang dalamnya tidak bisa diukur. Tidak bisa menemukan tangga untuk keluar dari sana.

Belum lagi degup jantung Joshua yang terasa bekerja beberapa kali lipat dari biasanya. Bahkan Joshua tidak berani mengintip suasana di depan panggung untuk melihat seberapa banyak penonton yang hadir untuk menyaksikan kompetisi. Takut. Khawatir semua tatapan mereka akan membuat nyalinya semakin menciut.

Melihat kekhawatiran teman duetnya, Dikey berinisiatif memberi dukungan lebih. Mendatangi Joshua. Berdiri tepat di belakangnya. Memijat bahu Joshua.

"Anggap saja semua penonton dan juri hari ini adalah bantal dan guling," kata Dikey. Membisiki.

Dikey berusaha berucap sepelan mungkin. Hanya mereka berdua yang bisa mendengar itu. Akan terdengar aneh jika peserta lomba lain mendengarnya.

Joshua berusaha menoleh ke belakang, meski tahu pasti siapa yang melakukannya. Menerima pijatan Dikey dengan baik. Bahkan memiringkan kepala ke kiri dan kanan. Merenggangkan otot-otot yang terasa tegang. Tadi malam ia kesulitan tidur. "Kenapa harus bantal dan guling?"

"Karena mereka-lah yang menonton proses latihan kita," kata Dikey sambil terkekeh menahan tawa.

Ya, benar. Hanya bantal dan guling yang bisa melihat proses latihan Joshua dan Dikey selama sebulan terakhir. Memutuskan berhenti berlatih di studio demi menghindari ocehan tidak penting Johan. Di dalam kamar Joshua dan Dikey secara bergantian. Joshua senang. Baru kali ini ia benar-benar memiliki teman. Setidaknya selama berada di Indonesia, inilah kenangan yang tidak mungkin bisa ia lupakan. Bagaimanapun hasil akhir perlombaan nanti.

Merasa sudah cukup, Joshua berbalik arah. Gantian. Kini giliran ia yang memijat pundak Dikey. Terkagum-kagum menyadari fakta baru. Tubuh Dikey ternyata jauh lebih kokoh dibandingkan badannya sendiri. "Oh... Apa kamu rutin mengikuti gym?"

Dikey menggeleng. Terpejam keenakan. "Dari SMP aku ikut ekstrakurikuler basket. Rencananya semester 2 nanti mau daftar di sini. Kamu enggak ikut ekskul apa-apa?"

"No..." Joshua melirih pelan. "Waktu sepulang sekolahku habis untuk mengerjakan tugas-tugas dari mereka. Enggak sempat melakukan hal lain."

Dikey jadi merasa bersalah karenanya. Sebagai permintaan maaf, ia menepuk tangan Joshua yang masih memijat pundaknya. "Sebentar lagi berakhir, tenang saja."

"Sejujurnya aku enggak berharap banyak. Kalau pun kita kalah, enggak masalah. Sudah biasa untukku. Aku cuma khawatir sama kamu. Gagal, kamu bakal ikut tersiksa gara-gara aku."

"Ei... Apa-apaan itu?" Dikey tidak terima. Menjauh. Berpaling menghadap kakak kelasnya. Pesimis bukan gaya seorang Darmagi Kiwani Umar sama sekali. "Jangan pernah diucapkan lagi. Aku marah nanti."

Fight The World (✓)Where stories live. Discover now