Jenderal Guerrier

13 3 3
                                    

Tiga tahun yang lalu, saat aku masih menjadi seorang mahasiswa semester 5 di salah satu universitas swasta di kota Makassar, aku berkenalan dengan salah satu senior, namanya Aditya Putra Pratama, seorang aktivis lapangan yang gemar mengkritisi orang-orang besar dan membantu masyarakat di jalur kiri. Awalnya aku hanya kagum dengannya, sampai kemudian aku benar-benar tertarik kepada senior yang biasa disapa jendral itu. Singkat cerita, kami berpacaran. Sayangnya, baru dua bulan menjalin hubungan, ia hilang begitu saja tanpa meninggalkan sepenggal kata untuk ku jadikan sebagai kalimat perpisahan. Sebagai kekasih yang butuh penjelasan, tentu aku mencarinya hingga berani menanyakan keberadaannya di pihak kampus, barangkali ada sedikit informasi yang diperoleh, sayangnya setitik informasi pun tidak ada. Saat itu, ingin sekali aku menanyakan pada pihak keluarganya, tapi dia adalah anak rantau dari sebuah kota yang tidak begitu dikenal, bisa dibilang masih kota terpencil dan aku tidak tahu lokasi pastinya. Aku juga tidak punya nomor kontak keluarganya.

Bosan mencari? Tentu. Sampai akhirnya aku wisuda dan lulus dari perguruan tinggi, ia belum juga kembali. Yang kudengar dari teman-temanku, statusnya sebagai mahasiswa dicabut begitu saja. aku tidak tahu, masalah apa yang Adit perbuat sampai pihak kampus langsung memberikan DO padanya.

Selama dua tahun lebih, aku tetap menunggu dengan segudang pertanyaan. Bukan pertanyaan tentang hubungan antara kita, tapi pertanyaan tentang ke mana saja dia. Kepergiannya tanpa kejelasan membuatku bertanya-tanya, apalagi tidak satupun temannya yang merespon ketika aku bertanya tentangya.

Sekarang, aku bukan tidak membuka hati untuk pria manapun, hanya saja aku masih fokus dengan perasaan berat ini, perasaan yang bisa saja membuatku tidak bisa mengontrol diri sendiri ketika merasakan rindu. Yah, rindu itu tidak mudah, susah dan sangat menjengkelkan.

---

Aku mengedarkan pandanganku ke setiap penjuru, tidak ada yang menarik seperti rasa kopi mocca yang ada di hadapanku. Sudah hampir setengah jam aku menunggu Galang di coffe tempat biasa kami nongkrong, Re-Fresh nama tempatnya. Sudah coba ku hubungi juga, namun laki-laki itu tidak kunjung membalas pesanku atau menjawab telfon dariku. Bayangkan, betapa membosankan berada di tempat ini sendirian, tidak ada teman ngobrol, ditambah alunan musik yang bikin ngantuk dan waktu yang cocok banget untuk tidur siang.

"Gita, yha?" seseorang menyapaku tanpa rasa canggung. Aku mengangguk.

"Ingat saya nggak?" tanyanya sambil duduk di kursi yang ada di depanku, padahal aku belum mempersilahkan.

Aku mengernyit, memperhatikan orang ini dengan seksama barangkali aku akan mengingat siapa dia, walaupun sampai sekarang aku belum mengingatnya.

Aku menggeleng pelan, "Enggak." jawabku jujur tanpa peduli ia akan sakit hati atau tidak.

"Yaudah kalau gitu, kita kenalan."

"Hah?"

"Iya, tak kenal maka kenalan, saya Bara, ingat aja api yang membara-bara, nah itu saya." Ucapnya seolah ia tidak punya rasa malu sama sekali. Datang tiba-tiba dan bertanya aku kenal dia atau tidak kemudian mengajak kenalan, motif pengenalan macam apa coba?

Aku tidak membalas uluran tangannya. Jika ingin modus, aku bukanlah orang yang tepat untuk dia jadikan bahan modus di siang hari ini. Dan... tunggu, dia kok tahu namaku?

"Udah kenal, te-rus?". Jujur, sebenarnya aku malas merespon orang asing ini, tapi mau bagaimana lagi galang belum juga datang, aku tidak mungkin pergi tanpa bertemu dengan Galang dulu. Galaaang, kumohon cepat datang.

Orang ini hanya terkekeh lalu menyeruput kopi dinginnya yang tadi berada di nampan yang ia pegang, sambil terus terkekeh ia juga terus geleng-geleng kepala.

Rindu yang Salah.Место, где живут истории. Откройте их для себя