Game over?

8 2 12
                                    


Aku kembali menatap langit-langit kamar dengan pikiran kacau. Aku tidak berhasil mendapat informasi dari pak Syamsul. Sementara di sekret MJK, tidak ada yang mau membuka mulut, padahal sudah aku paksa dan memberi ancaman. Aku merasa ada yang berubah dengan organisasi itu, organisasi yang dulu berani melawan pemerintah dan memiliki jiwa sosial tinggi, kini tidak ada jauh bedanya dengan organisasi yang diperdaya oleh tangan-tangan nakal yang menganggap kekuasaan lebih dari segalanya.

Aku kembali memaksa otakku untuk mengingat kejadian tiga tahun lalu. Hanya demo, itu saja yang ku ingat.

Dua bulan pacaran, lebih tua usia anak jagung daripada hubunganku dengan Adit sebagai pasangan. Belum banyak kenangan, foto-foto atau benda yang bisa dijadikan sesuatu untuk dikenang, kecuali... astaga, sebuah jam tangan dari Adit yang dia berikan saat ulang tahunku. Aku cepat membuka laci lemari dan mengobrak abis isinya. Benda itu, diberikan melalui tangan tukang pengantar barang alias kurir, karena malam itu katanya ia sibuk dan tidak bisa membawakan langsung ke rumahku. Di malam itu, aku bersama Ira dan Nabila di kamarku, dan besok Adit menghilang.

Aku menarik nafas berat, aku sudah mengingatnya. Di malam ulang tahunku, ia menelfonku dan mengucapkan selamat ulang tahun padaku, serta meminta maaf karena tidak bisa memberikan kesan romantis. Ia sibuk, karena besoknya ia akan melakukan aksi bersama organisasi nya. Hanya itu yang kuingat, tidak ada telfon dari Bara seperti yang Ira dan Nabila ucapkan tadi. Tidak ada pula tanda-tanda bahwa Adit akan meninggalkanku di malam itu.

Kulanjutkan kegiatanku untuk mencari jam tangan yang dulu Adit hadiahkan. Aku tidak menemukannya, padahal benda itu belum sempat aku pakai, bahkan mengeluarkannya dari kotak saja belum. Jam tangan itu, berwarna merah gelap yang dikombinasikan dengan warna hitam. Ukurannya kecil.

Aku mendesah berat, lelah karena terus memaksa otakku untuk kembali pada kejadian tiga tahun lalu. Rasanya lebih sulit mengingat kejadian itu dibanding mengingat masa kecil yang terjadi belasan tahun lalu.

Aku memutuskan untuk turun ke lantai bawah, merebus air lalu membuat kopi mocca kesukaanku untuk kembali menstabilkan tenaga. 'Kopi adalah penenang, kopi adalah inspirasi dan kopi mampu melahirkan sejuta karya'. Itu kata Adit. Ia yang mengajariku minum kopi pada awalnya. Bagi Adit, kopi itu seperti udara yang membuat dia bisa bernafas dan hidup, 'kopi adalah temannya mereka yang terus berpikir', katanya lagi.

"Ini bisa membahayakan status kamu sebagai seorang perwira, Galang!" kudengar ucapan itu dari teras belakang. Itu suara kak Fajar.

"Doain aja nggak kak, tapi kalau itu terjadi yhaa, mau gimana lagi," balas seseorang yang kuyakini itu adalah Galang.

Aku mendekat, menguping karena mulai penasaran dengan apa yang mereka bahas.

"Demi Gita juga," aku tersentak kaget. Demi aku? Apa yang sebenarnya sedang mereka bahas?

"Gita nggak pernah mau buka hati dia untuk siapapun kalau belum bertemu dengan Adit, termasuk saya." Jeda, aku mengintip, Galang meminum lagi kopinya, "Jadi mungkin mengulas kembali kasus ini bisa buat Gita melihat fakta yang sebenarnya."

"Beritahu saja langsung pada Gita apa yang sebenarnya terjadi, kamu tidak perlu membuka kasus itu lagi dan membahayakan diri kamu sendiri,"

Kulihat Galang menggeleng, "Gita harus tahu semuanya"

"Kak," panggilku. Aku tidak bisa menahan rasa penasaran tentang topik yang sedang mereka bahas.

Kak Fajar terlonjak kaget, sedangkan Galang terlihat biasa saja dengan kemunculanku yang tiba-tiba.

"Udah lama di situ?" Galang yang bertanya, tanpa melihat ke arahku.

"Apa yang kalian bahas?"

"Kamu!" jawab Galang cepat, padahal Kak Fajar sepertinya ingin mengeluarkan alibi.

Rindu yang Salah.Where stories live. Discover now